022

586 72 10
                                    

Minumannya sudah habis hingga satu gelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Minumannya sudah habis hingga satu gelas. Pergelangan tangannya bahkan mungkin bosan karena diangkat tiap lima menit sekali untuk sang empu melihat arloji hitam yang melingkar di sana. El sudah menunggu selama dua jam. Ia sampai rela meninggalkan acara Grand Opening kafenya di Bekasi demi datang tepat waktu ke pertemuan yang disepakatinya bersama Ares beberapa hari lalu. Sudah selama dua jam pula ponselnya bolak balik ia tatap. Pesannya tak kunjung dibalas, padahal tiga jam lalu, Ares konfirmasi kalau ia akan datang sore ini.

Sudah berkali-kali El menelepon ke nomornya. Aktif, tapi tidak ada respons apapun. Sia-sia sekali El duduk di sini sendirian selama dua jam. Seandainya Ares bilang kalau ia berhalangan hadir, setidaknya waktu El tidak akan terbuang begini demi menunggu orang yang tidak jelas. Namun apa daya, semuanya kadung terjadi. Maka, sebelum langkahnya membawa El menuju kasir untuk memesan minuman lagi, laki-laki itu gegas beranjak saja dari kafe yang disinggahinya sesuai pilihan Ares ini.

Lagi pula, sudah pukul sepuluh malam.

Dengan emosi tertahan yang membludak di dalam hatinya, El meninggalkan kafe bernuansa Jepang yang berlokasi di daerah Blok M ini. Ia kembali ke dalam mobilnya, mengatur napas supaya lebih tenang, lalu bergegas pulang. Pulang ke rumah orang tuanya, seandainya saja Ishana Anantari, tidak meneleponnya.

El menaruh harap kini. Semoga laki-laki yang ingkar dengan janjinya itu sedang bersama Shana sehingga El bisa langsung menjemputnya untuk mencaci-maki di tempat. Meskipun, kenyataannya justru sebaliknya. Hanya ada suara Shana dengan latar suara klakson dan deru mobil yang melesat entah di sudut Jakarta sebelah mana.

"El, lo nggak di kafe, ya? Gue ke sini, tapi kata Kang Didin udah close order, El-nya nggak ada." Kalimat itu terdengar seperti pertanyaan, tapi Shana sudah membuat jawaban dan kesimpulan sendiri dengan suaranya yang begitu lesu dan lirih. El jadi diam, memikirkan jawaban. "Sini, El. Gue mau cerita."

El mengangguk samar. "Iya, Shan. Gue ke sana sekarang. Lo tunggu di sana aja. Kalau udah pada mau pulang, bilang aja El mau ke sana. Gue titip kunci sama lo sebentar."

"Iya ... Kang, El mau ke sini. Saya masuk, ya!"

"Oh, iya-iya, Neng. Mas El mau ditungguin, nggak?"

"Nggak usah, Kang," balas El sambil terkekeh. Segera, El membawa mobilnya mundur dari lahan parkir, sebelum akhirnya melaju cepat ke arah Cipete Selatan, menemui Shana yang duduk sendirian di kafe yang lampunya sudah redup.

Masih ada dua orang yang bersih-bersih. Kang Didin juga ternyata belum pergi. El menyapanya dengan ramah, sebelum masuk ke kafe dan menyapa satu-satunya perempuan yang tersisa di dalam, "Kenapa lagi, anak Papa yang paling cantiiiik?"

Mata Shana yang sipit dan tajam melirik dan semakin tajam. "Dih, nyebelin lo, ya," cercanya. El hanya tertawa menanggapinya, kemudian segera duduk di sebelah Shana dan melontar senyum kepadanya. "Kayaknya, hidup gue tuh nggak jauh-jauh sama yang namanya di-ghosting ya, El."

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang