016

595 79 12
                                    

Entah sudah seperti apa rupa heels hitam yang Shana kenakan setelah Ares mengajaknya jalan kaki menyusuri trotoar di samping Grand Indonesia yang becek karena sisa hujan deras tadi siang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah sudah seperti apa rupa heels hitam yang Shana kenakan setelah Ares mengajaknya jalan kaki menyusuri trotoar di samping Grand Indonesia yang becek karena sisa hujan deras tadi siang. Langkahnya membawa mereka menuju Jalan Kebon Kacang Raya. Berkali-kali Shana bertanya ke mana Ares akan membawanya, berkali-kali pula Ares bilang kalau mereka akan makan sebelum Shana pulang.
   
“Kenapa nggak bawa mobil saya aja, sih, Mas?” Shana masih mengeluh sambil berusaha semampunya menghindari genangan air supaya tidak semakin mengotori sepatunya. “Atau Mas bawa motor, gitu.”
   
Ares yang sejak tadi memimpin langkah, langsung berhenti. Laki-laki itu berbalik, melihat wajah Shana yang sudah kusut tak keruan. Ares memperhatikannya sejenak, menyadari perempuan itu kesal karena sepatunya yang kinclong itu kini basah dan kotor. “Yang penting kaki kamu nggak kotor, kan? Lagian, tadi saya udah tawarin, kamu yakin pakai sepatu tinggi begitu? Nggak bawa cadangan sandal di mobil?”
   
“Ya mana saya tau kalau Mas mau ngajak saya makan ke luar GI dan nggak bawa motor.” Shana mengentakkan kakinya dengan sebal. Langkahnya mencak-mencak. Bodo amat. Shana tidak peduli lagi sepatu kerja kesayangannya harus kotor karena genangan air. Pokoknya, kalau sampai sepatunya nanti rusak, Ares yang salah!
   
Wajah Shana memerah. Sepertinya, Ares salah kalau mengajaknya makan di pinggir Jalan Kebon Kacang. Harusnya, Shana makan di restoran mahal di Grand Indonesia, atau seminimal-minimalnya, makan di kantornya sendiri dengan menu yang sudah terjamin dari juru masak di hotel berbintang lima itu.
   
“Kamu marah sama saya?” Ares tetap mengikuti langkah Shana yang lebih kelihatan sok tahu. Padahal, Ares yakin, perempuan itu tidak tahu ke mana sebenarnya tempat yang Ares tuju.
   
“Iya!” Shana berseru. Rasa-rasanya, beberapa pejalan kaki yang sejak tadi jalan tak jauh dari mereka sudah menyimak keributan kecil ini. “Sedikit, tapi!”
   
Ares mengernyitkan dahi. “Kok sedikit?” ia bergumam sambil menggelengkan kepalanya. Laki-laki itu segera menyetarakan langkahnya dengan Shana. “Ya udah, maaf, maaf. Kita makan di tempat lain aja, yuk, Shan.”
   
Langkah Shana terhenti lagi, dan Ares tidak tahu apakah ini kabar baik, atau justru sebaliknya. Pasalnya, wajah perempuan itu masih menampakkan raut kesalnya, bahkan masih memerah. “Mas, mah, ribet. Jadi maunya makan di mana?”
   
Padahal, menurut Ares, Shana yang ribet. Kan, Ares tidak salah kalau mengajaknya makan di pinggir jalan. Atau, sebenarnya Ares salah, karena ini Shana? Astaga. “Saya ikut kamu, deh. Kamu mau makan apa dan di mana?”
   
Shana mengerlingkan matanya. Lihat apa yang telah Ares perbuat pada heels Christian Louboutin miliknya! Ini sepatu kerja kesayangannya yang bahkan tidak pernah tega Shana pertemukan dengan debu. “Maaaass! Kenapa nggak dari tadi?”
   
“Ya saya kan nggak tau, Shan, kalau kamu nggak mau ke sini. Saya juga nggak tau kalau ternyata di luar habis hujan. Orang kita kerjanya sama-sama di dalem ruangan.” Ares menghela napasnya, mungkin sudah waktunya ia memperbanyak stok sabar mulai detik ini. Shana tak berkutik. Air mukanya perlahan-lahan berubah. Amarah di wajahnya sudah luntur sebagian. Kini perempuan itu jauh lebih tenang. “Maaf, ya. Yuk, sekarang kamu mau makan di mana, saya ikut kamu.”
   
“Bener?” Mata Shana langsung berbinar. Senyumnya melebar. Menanggapinya, Ares mengangguk dan ikut melukis senyum di wajahnya sendiri. “Kalau gitu, sekalian saya yang bayarin, ya, Mas. Hitung-hitung, saya terima kasih sama Mas karena kemarin dianter pulang dan tadi pagi dijemput.”
   
Sebenarnya Ares sangsi menerima tawaran tersebut, tapi, menolak pun pasti hanya akan memperpanjang masalah yang telah reda. Ares tidak punya pilihan, sore ini, ia menjatuhkan wibawanya demi menyenangkan perempuan yang bahkan bukan siapa-siapanya. Ia pasrah. Termasuk ketika Shana akhirnya memimpin langkah mereka berputar balik dan mengambil mobil Shana. Termasuk lagi ketika Shana membulatkan keputusan mereka akan makan di tempat yang Shana pilih, yang bahkan di mata Ares rasanya ia takkan mungkin datang ke sini kalau bukan karena Shana.

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang