013

649 87 4
                                    

El baru saja menyambut pergi pegawai terakhirnya yang baru pulang ketika ia meraih ponselnya yang sudah ia letakkan di bawah meja counter selama berjam-jam dalam keadaan charging dan silent

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

El baru saja menyambut pergi pegawai terakhirnya yang baru pulang ketika ia meraih ponselnya yang sudah ia letakkan di bawah meja counter selama berjam-jam dalam keadaan charging dan silent. Ada belasan pesan masuk dari Shana, bersamaan dengan belasan telepon tak terjawab dari nama yang sama.

Perempuan itu hanya mengiriminya pesan tanpa berterus terang maksud dan tujuannya. Ini selalu merepotkan, hingga pada akhirnya El harus repot membalas pesannya untuk bertanya terlebih dahulu. Atau, seperti malam ini, laki-laki itu memilih untuk menelepon.

Kurang dari satu menit, teleponnya diterima. “Shan, sori, gue habis beres-beres kafe. Kenapa?”

Tidak ada respons apapun, tapi El bisa mendengar deru napas Shana dan desah beratnya. Sepersekian detik kemudian, perempuan itu malah menangis, membuat El mau tidak mau menaruh perhatian lebih.

“Shan, lo kenapa?”

“Lo di mana, sih?” hanya pertanyaan itu yang El dapatkan dari seberang. “Jemput gue, dong, El, di rumah.”

El diam sejenak. Ia mengedarkan pandang ke sekitarnya. “Shan, gue di Bandung.”

“Kok nggak bi—eh, ngapain?” Tadinya Shana mau tanya kenapa El tidak bilang-bilang. Tapi ia kemudian tersadar, El memang tidak berkewajiban pamit kepada Shana dan laporan perihal apapun yang dilakukannya. “Lo aneh banget, sih. Tiba-tiba di Bandung, tiba-tiba di Jakarta.”

El tertawa, tidak menanggapi tudingan tersebut. Secepatnya ia beralih, kembali pada pertanyaan pertamanya, “Lo kenapa, Shana?”

“Makanya pulang dulu, nanti gue kasih tau.” Gadis itu bersungut. Mungkin, kalau sekarang El ada di hadapannya, Shana sedang mengerucutkan bibirnya dengan mata yang berkaca-kaca, atau bahkan sudah sembap. “Lo ngapain lagi ke Bandung?”

“Buka cabang di Lembang.” El meletakkan ponselnya lalu mengaktifkan loudspeaker. Laki-laki itu beranjak dari kursi yang ditempatinya, segera mengambil air mineral di lemari es. “Mumpung gue ngontrak juga di Bandung, jadi sekalian deh gue pantau perkembangannya. Karena di sini bangun dari nol gitu.”

“Lagi?”

El terkekeh. “Sebetulnya udah planned dari jauh, sih. Cuma gue sama Ben lebih fokus ke cabang Bekasi dan Bogor dulu karena dua cabang itu kita nyewa ruko. Nah, sekarang, gue bagi tugas aja sama Ben. Dia pegang di sana dulu, gue pantau yang di sini sambil follow up terus ke Ben.”

“Kok rasanya, kedengeran gampang banget ya hidup jadi lo.” Isak tangis Shana sudah tidak terdengar lagi. Entah El harus merasa bangga karena sukses mendistraksi pikirannya, atau bingung karena perempuan ini mudah sekali berubah suasana hatinya. “Karier, karier, karier. Uang, uang, uang. Tinggal nunggu cewek pada ngantri, deh.”

Lagi, El tertawa menanggapi ucapan Shana tanpa berkata apapun.

“Lo masih doyan cewek, kan, ya?”

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang