Dingin pagi yang tidak seberapa di sisi Selatan Jakarta tetap membuat Shana mengenakan jaket. Di luar masih turun gerimis kecil. Jalanan becek di mana-mana, yang Shana yakin, kelak akan jadi toleransi keterlambatan bagi beberapa pekerja ibu kota. Sayangnya, tentu saja tidak termasuk dirinya yang hari ini memulai sif pukul tiga nanti.
Sejak berpisah dengan El di lobi stasiun tiga hari lalu, Shana belum mendengar kabarnya lagi. El juga tidak memberinya kabar kapan akan kembali ke Jakarta. Atau, bahkan El mungkin sudah kembali, tapi Shana yang tidak tahu. Ya, sudahlah. Toh itu bukanlah sesuatu yang ia prioritaskan. Mau El cepat pulang atau mengulur waktu lebih lama, tetap tidak berpengaruh apa pun padanya, kecuali satu hal.
Shana harus menimbang jawaban pasti untuk El. Meski sebetulnya Shana tidak memiliki setitik pun ragu untuk menerima lamaran non-formal tiga hari silam, tapi Shana pikir, ia tetap perlu memikirkannya matang-matang, mengingat ia baru saja berduka atas keberengsekan laki-laki lain.
Gadis berambut sebahu itu mengembuskan napas kasar. Ia meraih ponsel di dalam clutch hitamnya untuk segera menjemput kabar mengenai El, yang jelas-jelas sedang ia butuhkan untuk mendiskusikan apa yang tiga hari lalu El gagas ke dalam percakapan mereka. Akan tetapi, ketika benda tipis itu baru saja Shana usap untuk membuka kunci layar, satu suara asing menyentaknya untuk segera berhenti, dan dalam sekejap membuatnya lupa kalau ia harus mengontak Elwandana Nugraha, sahabatnya.
"Ishana Anantari!"
Dua lengan berotot yang tampak begitu kukuh terbentang lebar kala suaranya menggelegar di dalam kafe yang belum ramai. Selain Shana sendiri di kursi bar, ada satu orang lain di dalam ruangan yang sedang berkutat dengan pekerjaannya, entah apa itu, yang Shana tidak peduli.
Kepala Shana yang lesu dan masih bergantung pada kepalan tangan kanannya untuk menumpu, seketika menoleh ke sumber suara di balik punggungnya. Bola mata Shana melebar mendapati laki-laki berkulit putih yang sedang melebarkan lengannya dengan semringah lebar tertanam di wajahnya.
Alih-alih segera turun dari kursi dan menjorok ke pelukan laki-laki itu, Shana justru bengong dan mengangkat sebelah alisnya. "Abang, ngapain?"
Kecewa dengan respons yang gamblang sekali di luar dugaan, laki-laki dengan kemeja hitam dan celana senada itu mendecak, menurunkan tangannya yang sudah membentang penuh harap. Semringahnya surut sepenuhnya, berganti dengan lengkungan lesu dari bibirnya yang tebal itu. "Elah, disambut atau apa, gitu. Malah ditanya ngapain."
Shana tertawa keras sambil mata cokelatnya bergerak mengikuti langkah Shandy untuk segera duduk di sebelah perempuan itu. "Ya, lagian tiba-tiba di sini. Sama El, ya? El ke mana?" Shana celingukan ke tiap sudut kafe. Sejak pertama kali kakinya tiba di sini, laki-laki itu memang belum tiba. Bahkan, Shana saja tidak tahu kapan El pulang dari Bandung setelah katanya ia mau packing untuk kembali menetap di Jakarta. Mobil El juga belum kelihatan di parkiran. Dari jauh, Shana hanya bisa melihat ada mobilnya yang terparkir, serta satu Honda Civic tua yang ia duga milik kakak laki-lakinya. "Abang nggak ketemu El kemarin di Bandung? Eh iya, mau pesen minum dulu, nggak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mas Tamu & Tuan Rumah
Literatura FemininaSekali lagi dalam dua belas tahun terakhir, Ishana Anantari dipatahkan hatinya dengan tidak terhormat! Lebih tidak etisnya lagi, si bajingan itu meminta Shana untuk mengembalikan uang yang digunakannya untuk membeli kado sebulan yang lalu. Apa-apaan...