004

921 123 32
                                    

Tidak bisa dimungkiri, pertanyaan yang semalam Shana ajukan memenuhi pikiran El bahkan sampai sore ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak bisa dimungkiri, pertanyaan yang semalam Shana ajukan memenuhi pikiran El bahkan sampai sore ini. Di sepanjang perjalanan pulangnya dari Bandung, pikirannya kalut. El tidak mau narsis, tapi jauh di dasar hatinya El tahu, laki-laki yang Shana sedang Shana sukai adalah dirinya sendiri. Tentu saja, bukan tanpa alasan El bisa berkesimpulan begini. Ada beberapa kemungkinan-kemungkinan sampai hal tersebut benar-benar bisa terjadi.

Shana pasti lelah dengan kisah percintaannya yang tidak pernah berjalan mulus. Tiga belas laki-laki yang hadir ke hidupnya dalam dua belas tahun terakhir ini, selalu berakhir menyakiti perasaannya. Selama dua belas tahun itu pula, hanya satu laki-laki yang bertahan jadi wadah sambat bagi Shana. Apalagi, mereka sudah saling kenal sejak Shana masih kecil sekali. Bahkan ketika Shana baru lahir, El sudah mengenalnya, dan selama itu pula, tidak pernah mereka merasakan ketidakcocokan antara satu sama lain.

"El, teleponnya nggak diangkat?"

Pertanyaan dari Ben, teman lama sekaligus kerabat kerjanya, membuyarkan lamunan panjangnya tentang Shana. Alhasil, laki-laki dengan rambut ikal setelinga itu mengalihkan pandangan dari spion kiri yang memperlihatkan mobil-mobil yang melaju di belakangnya. El gegas meraih ponselnya di dasbor, melihat nama Shana terpampang nyata di layarnya.

Sudah seharian ini El tidak merespons lagi pesan-pesan masuk dari Shana. Paling-paling, perempuan itu bertemu lagi dengan Kaisar, mantan pacarnya. Atau, perempuan itu mungkin bertemu lagi dengan Mas-Mas yang beberapa hari silam mengajaknya jalan. Yang manapun yang terjadi, El sedang tidak ingin tahu. Menurutnya, kini lebih penting memikirkan perasaannya dan dirinya sendiri.

"Kenapa lo?" Ben bertanya lagi sambil tetap mengemudi dengan kecepatan standar. "Kusut banget."

El mengedikkan bahu. Pandangannya berserobok sesaat dengan Ben, tapi ia memilih untuk tetap diam. Kalau dihitung-hitung, ini adalah tahun kedua belas bagi Ben dan El bersahabat baik. Keduanya adalah teman sejak SMA, yang bertahun-tahun setelah lulus, akhirnya mantap membuat keputusan berdua, untuk membuka coffee shop milik mereka sendiri. Sifat konsumtif yang selama ini mereka milikilah pendorong utamanya.

Selama persahabatan mereka terjalin juga, Ben jadi satu-satunya orang yang tahu apapun yang terjadi pada El. Termasuk....

"Kangen lo, ya, sama si Shana?"

El tertawa mendengar pertanyaan tersebut. Meski konyol untuk El akui, tapi ia yakin Ben akan selalu tahu jawabannya. "Nggak, ya, anjir!"

"Nggak mungkin, anjir!" sanggah Ben. "Udah, bego, makanya tembak itu anak orang. Mau nambah berapa tahun lagi setelah udah dua puluh empat tahun lo tungguin?"

"Nggak selama itu juga, lah, gila. Baru beberapa tahun terakhir ini, ah, sejak gue putus sama Ajeng pas kelulusan SMA." El masih mengelak, meski tetap saja Ben memilih untuk tidak memercayainya, bahkan mencemooh pengakuan El.

Laki-laki yang masih segar menyetir mobil itu menggeleng-geleng sambil menampilkan cengir lebar, "Bohong. Lo aja pacaran sana-sini cuma buat lupain dia, kan, karena dia banyak yang deketin?"

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang