033

2.6K 121 16
                                    

"Boleh Papa yang beresin barang-barang kamu, Shan?" pertanyaan itu meluncur dari mulut ayahnya ketika Shana sedang menenggak habis air mineral dengan tangan kirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Boleh Papa yang beresin barang-barang kamu, Shan?" pertanyaan itu meluncur dari mulut ayahnya ketika Shana sedang menenggak habis air mineral dengan tangan kirinya. Sejurus, keduanya saling tatap. Ayahnya sudah berdiri di hadapan nakas, siap mengemas barang-barang Shana ke dalam clutch kecilnya. Samar namun yakin, Shana menganggukkan kepalanya, mempersilakan pria itu menyentuh barang-barang mahalnya untuk yang pertama kalinya. "Mobil kamu dibawa bengkel, Shan. Untuk sementara ini, kamu pakai mobil Papa yang satu lagi, ya. Papa udah bawa pulang dari kantor. Ada Pak Iman, sopir Papa di kantor. Dia bisa anter kamu ke mana-mana untuk sementara ini, selama tangan kamu masih belum pulih."

Bibir Shana membentuk sabit tanpa ia sadari. Kedua matanya yang cokelat fokus menyaksikan tangan kekar ayahnya yang menata barang-barangnya ke dalam tas superkecil tersebut. Bahkan perlu usaha lebih bagi pria itu untuk sukses memasukkan dompet, ponsel, dan kunci mobil dalam satu slot yang sama.

"Kenapa selalu nama Papi yang dipakai buat dokumen-dokumen penting Shana, Pap?"

Pagi yang hangat, mendadak kembali mendingin. Tiap aktivitas yang terjadi di dalam ruangan tersebut terjeda. Ayahnya berhenti memasukkan barang-barang Shana, pun Shana berhenti menenggak air minumnya. Tanpa Shana perlu menebak-nebak, ia sudah tahu bahwa akar perkara keheningan ini adalah dirinya sendiri.

Shana yakin sekali, ayahnya paham maksud pertanyaan yang barusan ia berikan. Hanya saja, mungkin pria berkulit putih itu masih berusaha mencerna apa yang baru saja didengarnya.

Sadar tak kunjung ada jawaban, Shana tersenyum lagi, "Shana udah tau semuanya, Pap. Kenapa sih, Mami sama Papa nggak bilang aja sama Shana?"

Ayahnya berdengkus. Ia menyelesaikan kegiatannya segera, menutup tas Shana, kemudian mendekat pada putrinya yang masih dikelilingi tanda tanya besar. "Shan, butuh pertimbangan panjang untuk membuat keputusan kapan kamu perlu tau semuanya," tegasnya. Telapak tangannya yang besar mendarat pada puncak kepala Shana, mengusapnya pelan.

"Kan Shana udah dewasa, Pap?"

"Betul." ayahnya mengangguk. "Tapi, apa orang dewasa nggak bisa sedih? Nggak bisa sakit hati? Papa yakin, ketika kamu tau, kamu merasa sakit hati. Contohnya sekarang, kamu kabur dari rumah karena nggak terima dengan apa yang menimpa kamu, kan?"

Shana tidak mau menangis lagi seperti hari-hari kemarin, tapi genang air matanya tak bisa ditahan lagi. Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu membuat pikirannya kacau lagi dalam hitungan detik. Ayahnya bahkan tahu apa yang jadi alasan Shana pergi. Ayahnya bahkan tahu apa yang sedang Shana bicarakan sekarang.

"Kenapa Papa sama Mami harus nunggu Shana nikah untuk ngakuin kalau kalian udah cerai?" Shana tidak tahu apa yang sebenarnya sedang ada di dalam pikirannya. Ia gagal untuk menarik ulur percakapan ini agar terasa lebih halus dan mulus. Yang ada, semuanya justru Shana keluarkan satu per satu secara gamblang tanpa aba-aba. Rasanya, Shana ingin mendengar semua jawaban secara spontan, sehingga meminimalisir ayahnya untuk lebih dulu menebak-nebak deret pertanyaan Shana.

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang