030

706 88 9
                                    

Tiga hari bergulir, bahkan hampir empat, sebab waktu sudah memasuki pukul delapan malam kini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tiga hari bergulir, bahkan hampir empat, sebab waktu sudah memasuki pukul delapan malam kini. El tidak pernah melihat perempuan berwajah oriental itu datang ke kafenya untuk menikmati Matcha Latte. Mobilnya juga tidak pernah ada di parkiran. El selalu tanya kepada Kang Didin apa Shana datang ketika El tidak ada, tapi Kang Didin selalu bilang Shana tidak pernah datang, justru pria gondrong itu bertanya balik, "Lah, Mas kan temen deketnya, ora bilang, dia, pergi ke mana?"

Pertanyaan repetitif itu tidak pernah El jawab. Kalau El tahu ke mana Shana pergi, ia takkan bertanya kepada Kang Didin yang jelas-jelas tidak akan tahu kabarnya selain tahu ketika Shana datang ke kafe. Segala cara sudah El lakukan. Pesan-pesannya tidak pernah terkirim. Telepon-teleponnya tidak pernah diangkat. Bahkan Shana kelihatan terakhir aktif tiga hari yang lalu. Tepat pada hari di mana perempuan itu mulai hilang.

Ketiga kalinya El tidak puas mendapatkan jawaban dari Kang Didin, laki-laki itu memutuskan untuk beranjak dari parkiran. El masuk ke mobilnya, menghanyutkan pikirannya bersama alunan lagu yang sedang mengisi pengeras suara di dalam mobilnya.

Hanya ada satu ide di dalam pikirannya sekarang, tapi El total ragu untuk berharap akan mendapatkan jawaban melalui cara ini. Mengunjungi rumah kedua orang tua Shana di Jalan Metro Pondok Indah.

Sepanjang mobilnya melesat dengan cepat, ponsel El di dasbor tak mangkir menghubungi Shana. Meski tiap satu telepon terulang El selalu tahu, bahwa takkan ada satu pun panggilannya yang Shana gubris.

Dalam sepanjang hidupnya, belum pernah ia kehilangan Shana sebegini lamanya. Justru El yang pernah menghilang sementara dari hidup Shana. El akui itu kesalahan besar yang pernah dilakukannya sampai ia hampir saja kehilangan Shana untuk selamanya. Namun, tidak mungkin rasanya jika Shana sedang membalaskan dendam kepadanya. Lagi pula, Shana bukan tipe seperti itu. Hatinya yang lembut takkan pernah sanggup menyimpan dendam dan benci. Apalagi untuk El. Meski kedengaran terlalu ge-er, tapi El yakin seribu persen apa yang ada di pikirannya adalah fakta yang tak pernah bisa dimungkiri.

Hanya dalam setengah jam, El tiba di depan pagar megah rumah orang tua Shana. Laki-laki itu membuka kaca di sebelah kanannya kala seorang satpam dengan badge nama Gege menghampiri mobilnya. "Shana ada, Pak?"

"Eh, Mas El. Non Shana nggak ada, Mas. Udah tiga hari ini. Bapak bilang sih, Non Shana lagi ke luar kota, Mas, dipindahtugaskan sementara, gitu. Saya sih kurang ngerti, tapi kata Bapak begitu," terang pria dengan seragam khas satpam tersebut.

El mengusap dagunya, memutar pikirannya. Aneh. Di sepanjang kariernya sebagai resepsionis, Shana belum pernah dipindahtugaskan begini. Lagi pula, setahu El, Hotel Indonesia Kempinski tidak memiliki cabang yang memungkinkan Shana dipindahtugaskan sementara. Shana pasti sedang mengada-ngada.

Kalaupun memang benar, Shana takkan absen untuk memberikan kabar kepada El.

"Oh, iya udah, Pak. Makasih, ya," tutur El sopan sebelum membawa mobilnya mundur dari depan gerbang rumah megah tersebut. Laki-laki itu melenggang pergi, meninggalkan kawasan Pondok Indah dengan pikiran keruh yang masih mendominasi.

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang