Terlalu cepat

40 5 0
                                    

Gak terasa sudah dua minggu aku mengungsi di rumah para bujang Desix. Perlahan aku juga udah mulai mengenal karakter dan kebiasaan mereka semua, terutama bang Jae. Kadang aku mikir, "Kalo gue udah gak tinggal disini lagi, mereka bakal lupain gue gak ya? mereka masih mau kenal ama gue gak ya? Bisa gak ya gue pacaran ama kak Pilar?" *eh*



Dan seperti biasa, weekend kali ini kuisi dengan menyiram halaman rumah ini. Kalo biasanya aku ditemenin bang Jae, kali ini tidak. Alasan bang Jae gak nemenin sih katanya ada urusan amat sangat penting menyangkut hidup dan mati. Gak ngerti deh maksudnya apa. 

Saat aku lagi menikmati kegiatanku yang satu ini, tetiba terdengar suara yang tak asing dalam pendengarku.

"Hei my little sister ...!", sapa kak Wenda. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku terkejut sampe gak bereaksi melihat kedatangan kak Wenda.

"Dek, kok bengong?", sapa kak wenda sekali lagi. 

"Eh, anu  kak Wen... Kok udah balik?", Tanya ku dengan ekspresi yang gak bisa dijelaskan.

"Lha, gimana?", kata kak Wenda dan bang Jae bersamaan.





Sekarang aku, bang Jae dan kak Wenda sudah duduk manis di ruang tamu. 

"Jadi ini yang katanya urusan amat sangat penting itu?", kataku ngeledek bang Jae.

"Lha, emang bener kan? Menjemput tuan putri Wenda itu urusan penting bagi gue", kata bang Jae yang direspon cubitan gemas di pipi oleh kak Wenda. Aku pun memutar bola mata dengan malas. Dasar bucin.

"Oh ya kak Wen, kok udah balik? Katanya sebulan?", tanyaku lagi.

Kak Wenda tampak berpikir sejenak. "Oh, iya. Kegiatannya lebih cepat selesai dari yang direncanakan. Jadi kakak bisa pulang lebih cepet. Kenapa emangnya? Gak seneng kakak pulang cepet?"

"Eh, engga. Seneng kok kak beneran dehh... Ya kan Bi?", kata bang Jae meyakinkan.

"Tapi, karena kamu udah balik, berarti Bian ikut balik ke rumah hari ini dong? Rumah kalian juga udah selesai di renovasi kan?", Bang Jae kembali bersuara.

"Iya, Bian ikut aku. Oh ya, apa selama disini dia nyusahin kalian?", tanya kak Wenda.

"Engga dong sayang, justru dia banyak ngebantu kita selama disini. Iya kan Bi?", respon bang Jae yang aku jawab dengan anggukan kepala tanda setuju.

"Ya udah, sebagai ucapan terima kasih, untuk hari ini aku masakin makan siang buat kalian ya... Member yang lain bentar lagi pada dateng kan? Sekalian bisa makan bareng", tawar kak Wenda.

"Oke, aku bantuin yaa", kata bang Jae. 

Akhirnya kak Wenda dan bang Jae pun menuju dapur untuk membuat makan siang. Sementara aku kembali ke kamar untuk packing kepulangan yang mendadak ini.


Sambil beresin barang-barang, aku juga memandang setiap sudut kamar ini. Rasanya cepet banget ya  ninggalinnya. Padahal aku udah mulai terbiasa dengan segala sesuatu di rumah ini. Tapi, gak ada alasan juga buat  gue tinggal disini lagi. Seneng sih akhirnya udah gak perlu jadi babu bang Jae disini. Tapi jauh di lubuk hati kecil, kok aku sedih ya?

"Kamu balik hari ini ya?" tanya kak Pilar. Entah sejak kapan sudah bersandar di sisi pintu kamar gue yang terbuka. Berasa de javu .

"Eh, kak Pilar. I-iya nih...", jawabku seadanya.

"Boleh aku bantu?", tanyanya ragu-ragu. Aku yang awalnya hendak menolak, akhirnya membiarkan kak Pilar masuk ke kamarku buat bantuin. Yah kapan lagi aku bisa sedeket ini ama dia. Kalo dipikir-pikir juga, bahasa sapaanku mulai berubah sama kak Pilar. Aku jadi ikut-ikutan gunain sapaan 'aku kamu' hanya sama kak Pilar.


Kami pun beberes dalam diam. Sebenarnya bukannya gue gak mau ngomong , tapi gue hanya berusaha nyembunyiin kesedihan gue. Kak Pilar bantuin masukin buku-buku serta alat pelajaran lainnya yang terletak di meja kamar ke box yang udah gue siapin, sementara gue beresin pakaian-pakaian yang ada di lemari dan dimasukkan ke dalam koper.

Tak butuh waktu lama, barang-barang guepun sudah terpacking tanpa meninggalkan jejak di kamar ini. 

"Ada lagi Bi?", tanya kak Pilar. Aku cuma  menggelengkan kepala tanpa bersuara. Seolah peka, kak Pilar pun bertanya apakah gue baik-baik aja.

"Bian, kamu kenapa? Kok keliatannya sedih gitu?"

Aku cuma natap kak Pilar dengan lesu. Apa harus aku bilang, kalo aku gak rela pergi dari rumah ini? 

"Bi, ada apa?", tanya kak Pilar dengan tatapan khawatirnya. Kak Pilar berpindah posisi ke hadapanku dan mensejajarkan tubuhnya dimana saat ini sedang duduk di tepi kasur. Oke, aku gak tahan lagi. Air matapun mulai jatuh. Gue pun reflek meluk kak Pilar. Bodo amat dibilang lancang ato gimana, intinya aku butuh pelukan kak Pilar buat keluarin uneg-uneg yang aku rasain saat ini.

"Kak, aku sedih harus pulang secepat ini. Aku sedih harus ninggalin kamar ini. Hikss... Aku masih pengen bantuin kak Senja ngerapiin dokumen kampus. Hikss.. Aku belum puas kulineran dan ngeliat wajah gantengnya kak Brian. Aku juga belom bisa ngalahin Dimas main game. Hiks.. Oh ya walaupun bang Jae suka semena-mena, tapi aku pasti bakal kangen ama jailan bang Jae. Kak Pil, maafin aku kalo selama ini nyusahin. Hikss... Dan.. dan... Hiks...", Akupun gak bisa ngelanjutin kata-kata gue. 

Kak Pilar ngelepas pelukannya. Aku cuma ngeliat kak Pilar dengan senyum tipisnya sambil menghapus air mata ku dengan kedua tangan. Disaat yang bersamaan, kedua netra kami bertemu. Aku yang awalnya sedih seketika membisu. Jantungku bertedak dua kali lebih cepat, sampai akhirnya aku tersadar . Ada satu hal yang belum aku ungkapin,



perasaanku.....









Stuck with Tuan Muda ( Wonpil )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang