2. Perlahan tapi pasti keluar

3.1K 299 14
                                    

SELAMAT MEMBACA READERS

.

.

.


Sebuah rumah yang terletak jauh dari perkotaan tapi masih dalam daerah perumahan. Suasana yang nyaman dan tenang dengan semua penduduk yang saling menyibukkan diri dengan urusan masing-masing. Rumah yang memiliki desain elegan dan sederhana, dihuni hanya dua orang yang berbeda umur. Satu orang wanita paruh baya sibuk di dapur, dia sedang menyiapkan makan siang dan seorang anak kecil berumur 2 tahun yang duduk di ayunan pohon belakang rumahnya sambil menatap langit biru yang cerah. Pikirannya tidak berada di tempatnya, entah apa yang di pikirannya. Dia tidak sadar kalau wanita paruh baya mendekatinya sambil membawa nampan piring penuh makann dan segelas air.

" Nona, waktunya anda makan siang " ujar wanita tersebut sambil menaruh nampan di atas meja yang terletak tidak jauh dari anak kecil tersebut. Anak kecil itu menoleh ke wanita paruh baya.

Dia tersenyum " Terimakasih bi iyam " ujarnya sembari beranjak dari ayunan dan berjalan ke meja. Dia duduk dengan bantuan wanita yang digunakan sebutkan namanya sebagai bi iyam. Dia makan dengan tenang sesekali pipinya yang kotor dibersihkan oleh bi iyam, matanya melirik ke wanita paruh baya itu yang tersenyum kearahnya.

Ingatannya mengarah ke waktu pertama kali dia berada di dunia ini. Terbaring di kasur yang empuk dan lembut, hal pertama yang dia lihat adalah langit kamar yang indah dengan hawa yang cukup hangat. Baju yang dia kenakan juga cukup nyaman dan inderanya tidak menangkap suara gangguan yang biasa terjadi. Hanya suara kicauan burung, kendaraan berlalu-lalang, dan suara ramah yang saling menyapa. Mengerutkan kening dan menyadari bahwa badannya terlalu kecil untuk tidur di kasur yang berukuran besar ini. Dia bertanya-tanya kenapa dirinya ada di tempat kamar ini ? Seharusnya dia sudah mati karena tusukan pisaunya mengenai jantungnya. Apakah ada yang datang saat dia sekarat ? Tapi, tidak mungkin karena tidak ada yang mau melihatnya kecuali pelayan baik hati yang sesekali datang sebelum dia dipecat.

Jika Tuhan mengasihaninya seharusnya dia tidak berada di sini. Tempat asing yang bahkan bukan miliknya. Dia harus keluar sebelum pemilik kamar ini datang, dia tidak mau menjadi objek pemukulan orang-orang yang tidak diketahui. Cukup orang-orang rumahnya. ah! Apa tempat itu bisa di sebut rumah lagi ? Kalau keluar apakah ada tempat yang dia tuju sekarang ?

Menyadari hal ini, tanpa sadar air mata anak itu keluar perlahan menjadi sebuah isakan yang menandakan perasaannya sudah lama dia pendam. Sudah lama dia tidak menangis seperti ini. Butuh beberapa menit untuk menenangkan dirinya, dia tidak mau lagi terlihat lemah dan tidak mau terbawa dengan perasaannya. Sekarang dia harus bertemu dengan pemilik rumah ini untuk membuat sebuah perjanjian. Sembari menahan isakannya anak itu tersentak saat pintu kamar perlahan terbuka memperlihatkan wanita paruh baya yang membawa nampan berisikan sepiring dua lembar roti yang sudah di olesi selai coklat dan segelas susu hangat.

" Nona waktunya anda sarapan " ujar wanita tersebut dengan suara lembut yang membuat hati anak itu tersentuh. Dia menatap piring yang diletakkan di depannya. Roti hangat yang terlihat menggiurkan dan di olesi selai coklat, dan segelas susu hangat membuatnya dengan susah menelan ludah. Tapi tekadnya tidak boleh lengah. Dia menatap wanita paruh baya dengan tatapan bingung. Tapi sayangnya matanya yang sembab dan merah menarik perhatian wanita paruh baya itu yang kini panik dan cemas.

" Ya ampun nona! Kenapa anda menangis ? " Bukannya memberikan jawaban yang menenangkan. Anak itu malah mengeluarkan pertanyaan yang membuat wanita itu syok " Kau siapa ? "

Wanita tersebut sontak memasang ekspresi khawatir " Nona bagaimana bisa anda melupakan saya ?! " ujarnya. Anak kecil itu hanya menatap bingung tanpa menjawab pernyataannya. Menerka bahwa wanita di depannya adalah pemilik rumah ini. Wanita tersebut langsung berjongkok di pojokan ruangan sambil bergumam tidak jelas. Melihat wanita tersebut, dia jadi tidak tega " Maaf, aku lupa tapi terimakasih sudah membiarkanku tinggal di rumah nyonya " ucap anak tersebut. Wanita paruh baya itu, menoleh ke belakang dari balik bahunya lalu berdiri menghampiri anak kecil itu.

AXTON & OPHELIA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang