EE | 6

406 31 0
                                    

Sebenarnya di sekolah gue ada jatah izin tidak masuk sekolah karena keluarga yang meninggal selama tujuh hari. Tetapi gue memutuskan berangkat ke sekolah pada hari keempat. Lagian, siapa juga yang menikmati jatah izin karena keluarga meninggal kan?

Mengerjakan aktivitas sehari-hari seperti biasa tidak membuat gue lupa sama mama. Justru gue harus segera menyeimbangkan jalan gue lagi untuk menjadi lebih kuat.

"Loh Kei?" Sapa Zayyan saat berpapasan di dekat ruang guru, "kok udah masuk?"

Gue berusaha tersenyum, "gue mau ngurusin berkas pindahan."

"P-pindahan?" Tanya Zayyan tak yakin.

Gue mengangguk.

"Bercanda kan?" Tanyanya lagi.

Gue menggelengkan kepala.

"B-bentar bentar. Masih pagi otak gue belum bekerja dengan baik, pindah sekolah?"

"Pindah rumah juga."

"Hah?"

"Pindah rumah juga." Kata gue mengulangi ucapan gue.

"Bukan, gue bukan ga denger. Gue cuma masih mikir."

"Gue disuruh papa buat pindah sekolah yang dekat sama tempat kerja papa."

"Tinggal di apartment yang biasa papa gunain pas lembur?"

Gue mengangguk lagi.

"Oke, nanti lo pulang harus sama gue."

"Kenapa gitu?"

"Gue mau tau semuanya."

Sebenarnya gue bertanya-tanya kenapa Zayyan harus tau semuanya? Tapi gue hanya menganggukan kepala lagi dan mengetuk pintu ruang guru.

"Sudah masuk sekolah, Kei?" Tanya wali kelas gue saat melihat gue masuk ke ruang guru.

"Sudah, Bu." Jawab gue dengan usaha untuk tersenyum.

"Ada keperluan apa ke ruang guru pagi-pagi gini?"

"Saya ingin bertanya prosedur untuk pindah sekolah bagaimana ya, Bu?"

"Kamu mau pindah sekolah kenapa?"

"Biar dekat sama tempat kerja papa."

"Mau pindah ke sekolah mana?"

"Kata papa ke SMA Pelita Nusantara."

"Loh kok ke swasta?"

"Paling bagus di daerah sana, Bu."

"Dimana-mana bagus itu sekolah negeri."

Gue merasa canggung karena obrolan ini.

"Coba kamu ke tata usaha minta surat pengantar pindah sekolah," lanjut wali kelas gue, "kayaknya ga susah soalnya belum ada nilai rapot juga."

Gue mengangguk, "baik, Bu. Terimakasih banyak ya, Bu. Saya pamit ke ruang tata usaha dulu."

Gue keluar dari ruang guru dan segera bergegas menuju ruang tata usaha. Gue mengetuk pintu ruang tata usaha, akan tetapi tidak ada jawaban dari dalam ruangan tersebut.

"Pak Haqi nya belum datang," kata seorang wanita yang baru pertama kali gue lihat, "ada keperluan apa?"

"Mau minta surat pengantar pindah sekolah, Bu." Jawab gue tak yakin apakah benar memanggil beliau dengan sebutan Ibu.

"Oooh, Pak Haqi biasanya datang jam sepuluh."

Bel masuk berbunyi, gue mengucapkan terimakasih dan segera pamit untuk masuk ke kelas.

Materi pelajaran hari ini sedikit sulit untuk bisa gue pahami. Pikiran gue tidak dapat fokus untuk menerima ilmu baru.

Saat jam istirahat, gue kembali ke ruang tata usaha untuk meminta surat keterangan pindah sekolah dan dapat diambil saat pulang sekolah karena data harus disesuaikan antara dua sekolah, sekolah gue saat ini dan sekolah baru gue nanti.

Terasa tak memiliki motivasi belajar.

Atau bahkan motivasi untuk tetap hidup.

"Lama banget keluar kelasnya." Rengek Zayyan yang sudah menunggu di depan pintu kelas gue saat bel pulang berbunyi beberapa menit lalu.

"Elo yang keluar sebelum bel bunyi."

"Gue ketua kelasnya kok."

"Hah? Lo ketua kelas?"

Zayyan mengangguk, "aneh kan? Gue aja ngerasa aneh. Kenapa pada milih gue."

"Lo kasih pelet apa?"

"Ga ada! Malah harusnya gue kasih pelet aja biar ga milih gue kan."

"Iya mungkin ya," ucap gue, "oh iya, gue mau ambil surat ke tata usaha dulu."

"Yaudah kan sekalian jalan ke tata usaha dulu terus ke parkiran."

Gue mengetuk pintu ruang tata usaha, akan tetapi tidak ada jawaban.

"Kei, ini kayaknya surat buat lo deh." Kata Zayyan mengambil amplop putih yang berada diatas meja presensi.

Gue mengambil amplop putih itu dan membuka surat yang ada di dalamnya.

Benar, itu surat keterangan pindah sekolah gue.

"SMA Pelita Nusantara?" Tanya Zayyan.

Gue mengangguk lalu memasukan surat itu kembali ke dalam amplop.

"Kok ke swasta pindahnya, Kei?" Tanya Zayyan lagi.

"Emangnya kenapa?" Tanya gue sambil mengikuti Zayyan ke parkiran motor.

"Kan lo pinter, bisa tau pindahnya ke sekolah negeri lain."

"Emang yang pinter sekolahnya di negeri aja?"

"E-enggak kok." ucap Zayyan, "gue ga bawa helm dua soalnya gue ga tau lo masuk hari ini."

"Jadi gue pulang sendiri aja naik bus?"

"Jangan, kita lewat jalan kecil aja."

Gue mengangguk dan naik ke motor Zayyan.

"Jadi kenapa lo pindah sekolah?" Tanya Zayyan.

Suaranya jelas karena Zayyan memilih jalanan perkampungan yang mengharuskan Zayyan mengendarai motor dengan pelan.

"Kasian papa harusnya lembur tiga hari kemarin tapi harus bolak balik pulang ke rumah karna gue sendirian."

"Terus rumah yang sekarang dijual?"

"Gue ga tau."

"Sekolah barunya udah diurus?"

"Hari ini sama besok papa kerja sambil urus sekolah baru."

"Sendirian di rumah?"

"Engga, tadi gue bilang Dissa sama Dirra buat nginep di rumah."

"Mereka mau?"

"Mau."

"Terus kapan lo pindahan barang?"

"Nanti sore dipindahin, besok sore gue dijemput papa langsung pulang ke apartment."

"Gue boleh main ke apartment?"

"Ga kejauhan?"

"Enggalah, yang jauh mah cinta beda agama."

Gue terkekeh.

"Ja, ini ga jadi terakhir kalinya gue naik di motor lo kan?" batin gue saat melihat Zayyan sekilas melalui kaca spion motornya.



- xoxo, ririrei -

EX ENEMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang