EE | 9

371 30 0
                                    

"Jarvin belum bangun?" Tanya papa saat sarapan pagi.

"Ga tau, Pa." Kata gue sambil menggelengkan kepala dan sibuk membuat kopi untuk papa.

"Yasudah, hari pertama kamu di sekolah baru biar papa yang anterin ke sekolah sambil papa kasih tau stasiun menuju sekolah."

"Stasiun?"

"Iya, di dekat sekolah ada stasiun, ga ada bus yang ke arah sekolah kamu."

"Jadi besok aku naik LRT?"

"Iya, berani kan? Atau mau sama Jarvin?"

Gue langsung menggelengkan kepala saat papa menyebut nama itu, "coba naik LRT aja."

Gue mencatat jalan menuju Stasiun Delyth kemudian keluar di Stasiun Pelita. Jalan dibagian dalam stasiun bisa memperhatikan tanda atau bertanya kepada petugas.

Gue turun dari mobil setelah salam ke papa.

"Jam segini kok masih sepi ya?" Gumam gue melihat jam tangan menunjukan pukul enam lewat tiga puluh sembilan, "untung pagarnya udah dibuka."

Gue berjalan masuk sambil mencari ruang administrasi untuk memberi surat bahwa gue hari ini sudah mulai bersekolah.

"Lo kelas sepuluh ya?" Terdengar suara seorang cowok yang tiba-tiba muncul dibelakang gue.

Gue membalikkan badan walaupun gue takut. Gue melihat kakinya menapak di lantai lorong kelas.

"Gue manusia." Kata lelaki yang membawa beberapa kertas ditangannya.

"Emmm, mau nanya ruang administrasi dimana ya?"

"Hah? Lo ga tau ruang administrasi? Pas daftar ulang, lo daftar kemana?"

Dia berjalan melewati gue dan gue harus membalikkan badan lagi untuk menjawab pertanyaannya.

"G-gue anak baru." Jawaban gue membuat dia berhenti.

"Yaudah ayo ikut gue."

Gue masih tetap diam karena takut kalau dia mencari kesempatan dalam kesempitan.

Mana masih sepi lagi nih sekolah!

"Tenang, gue ga mesum." Katanya yang semakin membuat gue takut.

"E-elo mending ngasih tau aja jalan ke ruangannya."

"Yakin?"

Gue mengangguk sambil bersiap mencatat di handphone.

"Dari sini nanti lo ke arah timur dua puluh langkah, terus belok ke utara lima belas langkah, ke timur lagi tujuh belas langkah, terus—"

"Stop! Gue ga paham arah mata angin." Kata gue bingung.

"Kan lo bawa hp, ya lo bukalah kompas." Ucapnya, "sampai mana tadi?"

Gue mendengus kesal, "ke timur lagi tujuh belas langkah."

"Terus ke barat lima belas langkah."

"Balik lagi dong?"

"Engga kan cuma lima belas langkah. Terus ke selatan lima belas langkah, terakhir ke barat dua puluh dua langkah."

"Udah?"

"Mau lagi?"

"Ga! Makasih banyak!" Gue jalan sambil melihat kompas dan menghitung langkah,"Timur satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas, sembilan belas, dua puluh."

"Belok kiri ke utara satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas."

"Belok kanan ke timur satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas, tujuh belas."

"Ke barat lima belas langkah? Tuhkan balik lagi. Ga jelas banget tuh manusia satu. Awas aja kalau ketemu lagi, anjir." Umpat gue sambil terus menghitung, "satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas."

"Ke selatan satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas."

"Terakhir ke barat satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas, sembilan belas, dua puluh, dua puluh satu, dua puluh dua. Haduh!" gue menabrak dada bidang seorang lelaki.

Lelaki tadi terkekeh, "kenapa balik? Udah ketemu ruang administrasinya? Atau balik karna kangen gue?"

"Dih! Lo ngerjain gue kan?!"

"Ribut apaan sih, Den?" Tanya seorang lelaki lain yang keluar dari ruangan terdekat.

"Dih kok malah ketemu Kak Jarvin." Batin gue.

Kak Jarvin melihat gue sekilas lalu berjalan pergi.

"Mau kemana lo? Gue kira lo mau narget nih adek kelas." Kata cowok iseng yang memiliki name tag Zayden di kemejanya itu. 

"Ga minat." Jawab Kak Jarvin.

"Dih yang minat sama lo juga siapa?" Batin gue yang semakin kesal.

"Yaudah ayo gue anterin. Lagian udah mulai ramai juga kan nih sekolah."

Gue mengikuti cowok rese itu sambil memikirkan banyak hal.

"Makasih ya, Kak." Ucap gue saat sampai di depan pintu ruang administrasi.

"Kok lo tau gue kakak kelas lo?"

"Mmm muka lo tua." Jawab gue mencari alasan. Sebenarnya gue keceplosan manggil dengan sebutan 'kak' karena Kak Jarvin terlihat nyaman saat mengobrol dengan Kak Zayden, jadi ya gue pikir mereka berteman dan satu angkatan, mungkin juga satu kelas. Dan dia juga menyebut gue 'adek kelas'.

Kak Zayden pergi dengan raut muka kesal dan gue masuk ke ruang administrasi.



- xoxo, ririrei -

EX ENEMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang