EE | 16

303 21 0
                                    

Gue mendekat ke sisi Gavesha yang sedang menutupi tangisannya dengan menundukkan kepala.

"Gue capek." Gavesha menahan tangisannya agar tak terdengar lebih kencang.

Gue mengusap punggung Gavesha untuk sedikit menenangkannya.

Pikiran gue mulai merangkai banyak clue seperti puzzle yang ingin disatukan.

Benar ga sih Ibunya Kak Jarvin yang jadi perusak hubungan keluarga gue?

Tapi gue ga pernah ngerasain hubungan keluarga gue yang rusak.

Gue ga pernah mendengar papa dan mama beradu argumen.

Gue juga ga pernah mendengar mama mengeluh tentang kelakuan buruk papa.

Bahkan sampai detik disaat papa bilang kalau Kak Jarvin dan gue itu kakak adik, gue ga bisa membenci papa, gue ga bisa kecewa ke papa dan gue ga bisa marah ke papa kayak Kak Gavita meluapkan emosinya tadi.

Seharusnya wanita mendukung wanita lainnya untuk bahagia, tapi kenapa para wanita perusak dan pengganggu tidak seperti itu?

Malah mungkin bisa sampai merusak mental wanita lain.

Tak pernah terpikirkan kalau ada seorang perusak dan pengganggu yang umurnya lebih muda dari gue.

Apa yang dia cari dari seorang lelaki yang usianya mungkin sama seperti ayahnya sendiri?

"Gue benci sama anak ingusan itu." Lanjut Gavesha disela tangisannya.

"L-lo tau anak ingusan itu?" Tanya gue.

Gavesha mengangguk dan mengangkat kepalanya sambil mengusap air matanya, "dia adiknya Kak Tami."

"Kak Tami itu temannya Kak Gavita?"

Gavesha mengangguk lagi, "mereka juga pernah main kesini, ditawarin makan sama mami. Pokoknya disambut baik karena Kak Tami juga suka bantuin tugas kuliah Kak Vita."

Gue terdiam, manusia munafik ternyata ada di dunia ini.

"Si anak ingusan itu selalu upload apapun yang daddy kasih ke dia dan semuanya branded." Lanjut Gavesha.

"Ha? Kak Tami tau adiknya kayak gitu?"

"Tau, tapi Kak Tami bilang anggap aja itu upah dari tugas yang udah dibantuin."

"Anjir!" Batin gue merasakan sakit yang sangat sulit untuk dideskripsikan.

"Gue ga tau apa yang daddy sama mami pikirkan sampai mereka ga memilih untuk bercerai." Ucap Gavesha.

"Emmm, mungkin mami masih mikirin kuliah Kak Gavita dan sekolah lo juga."

"Tapi mereka ga mikirin psikologis gue dan Kak Vita."

"Lo pernah konsultasi sama wali kelas?"

Gavesha menggelengkan kepalanya, "gue malu untuk bercerita saat jam pertama sebelum pelajaran."

"Kalau jam istirahat?"

"Gue belum lama di SMA itu, gue takut kalau masalah gue tersebar."

"Lo boleh cerita ke gue."

"Lo udah tau semuanya, lo udah denger semuanya."

"Gue bakal simpan itu."

"Gue harus gimana, Kei?"

"Lo mau labrak bocah ingusan itu?"

Gavesha menggelengkan kepalanya, "gue ga pernah bisa marah, gue ga mau nangis dihadapan bocah ingusan itu."

Jujur, kalau gue berada diposisi Gavesha, gue juga akan bingung harus berbuat apa. Semua keinginan untuk balas dendam selalu berujung pada diri ini yang tidak tega untuk berbuat jahat. 



- xoxo, ririrei -

EX ENEMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang