EE | 17

302 22 0
                                    

Hari ini Gavesha terlihat lebih pendiam daripada hari biasanya. Gue sungguh paham apa yang ia rasakan setelah gue tahu masalah yang sedang ia hadapi. 

Tetapi, ia tetaplah Gavesha, gadis SMA yang mampu menutupi masalahnya dengan obrolan khasnya.

"Kei, ekskul Bahasa Inggrisnya gimana? Udah pengumuman?" Tanya Gavesha saat pulang sekolah.

"Belum pengumuman."

"Tapi udah dikumpul?"

Gue mengangguk sambil membayar tiket LRT.

"Jadi mau ikut OSIS?" Gavesha bertanya lagi.

"Iya, biar gue lebih mengenal banyak orang."

"Btw, Kei." Ucap Gavesha dengan volume suara mengecil.

Gue menoleh ke arahnya yang sedang duduk sambil menundukan kepala menatap lantai.

Gue duduk disebelahnya sambil menunggu LRT datang, "lo kenapa?"

"Emm, masalah di rumah gue kemarin jangan sampai ada yang tau ya, Kei. Gue malu."

Gue merangkul pundak Gavesha, "iya, tapi lo harus kuat ya. Bocah ingusan itu semoga dapat karmanya."

Gavesha mengangguk dan tersenyum ke arah gue.

Handphone gue berdering.

"Halo, Pa. Ada apa?"

"Kamu udah pulang, Nak?"

"Masih di stasiun Pelita, Pa. Kenapa?"

"Nanti kalau udah sampai rumah, tolong lihat amplop coklat di laci lemari papa ya."

"Ada tulisannya?"

"Ah papa lupa, pokoknya isinya surat perjanjian tapi ada coretan tangannya."

"Oke oke, Pa. Nanti langsung Kei cari." Ucap gue sambil berjalan masuk ke LRT bersama Gavesha.

"Makasih ya, Nak. Hati-hati pulangnya."

Papa menutup telepon dengan terburu-buru.

"Gimana rasanya ditelepon papa, Kei?" Tanya Gavesha.

"Emm, sebenarnya papa juga termasuk jarang menelepon gue. Tadi juga cuma disuruh cariin amplop."

"Gimana ya rasanya ditelepon untuk ditanyain 'mau titip apa?' kalau papa mau pulang kerja?"

Gue terdiam.

Gue ga tau harus menjawab apa.

Gue ga tau harus menjawab bagaimana agar tak terkesan mengasihani atau menyombongkan diri.

Tapi kalau gue jadi Gavesha, gue pasti benci banget sama bocah ingusan itu.

Langit terlihat mendung saat gue turun di Stasiun Delyth dan gue segera berlari menuju apartment agar tidak kehujanan.

Gue masuk ke kamar papa untuk mencari amplop coklat.

"Hah?! Semua amplopnya coklat?" Teriak gue saat membuka laci lemari papa.

Gue membuka satu per satu isi dari amplop coklat itu untuk menemukan surat perjanjian yang diminta oleh papa.

"Veronica Saras Mallory?" Gumam gue saat membaca surat perjanjian, "hak asuh anak berada pada Ny. Veronica Saras Mallory? Jangan-jangan—"

"Lo nyari apa?" Tanya Kak Jarvin yang sudah berada di dekat pintu kamar papa dan gue refleks melemparkan surat hak asuh anak ke bawah tempat tidur papa.

"Emm, surat perjanjian yang ada coretan tangannya." Jawab gue.

"Tumpukan kedua dari bawah. Lo beresin yang udah diberantahkan."

Kak Jarvin meninggalkan gue sendirian di kamar papa.

"Kok dia tau?" batin gue sambil mengambil amplop coklat ditumpukan kedua dari bawah.

"Surat perjanjian sewa tanah." Gue membaca surat itu lalu mengirim gambar kepada papa.

Gue membereskan amplop yang sudah gue buka tadi sesuai dengan urutannya.

"Untung aja gue masih inget." Gerutu gue sambil mengambil gambar surat hak asuh anak menggunakan handphone.

Satu notifikasi dari papa muncul dilayar handphone gue.

Makasih banyak ya, Kei.

Gue kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas-tugas gue.



- xoxo, ririrei -

EX ENEMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang