EE | 33

70 15 0
                                    

Gue memakai earphone untuk mendengarkan lagu kesukaan gue agar pikiran tentang hari kemarin bisa lenyap.

Namun gue salah.

Kaki ini semakin terasa berat saat memasuki gerbang utama SMA Pelita Nusantara.

Tak terasa mata gue berlinang saat gue memaksa diri untuk terus berjalan menuju kelas.

Gue melihat Kak Zayden duduk di depan kelas MIA 2 lalu pergi saat ia menoleh ke arah gue.

"Gue salah apa?" batin gue sambil mengusap air mata yang jatuh tanpa sengaja.

Gue mempercepat langkah menuju kelas dan duduk di bangku paling belakang. Gue membuka handphone dan mulai menyalakan pemberitahuan agar muncul di layar.

Semua chat dan komentar di Instagram mulai terlihat di layar handphone gue.

"Ma, Kei harus apa?" gumam gue saat melihat foto papa, mama dan gue di layar handphone sebagai wallpaper.

Gue refleks menundukan kepala dan menutup wajah dengan tas yang berada di atas meja saat seseorang membuka pintu kelas.

"I know you are not okay," ucap seorang lelaki yang tak asing sambil mengusap kepala gue.

Gue mengangkat kepala dan menoleh ke arah Kak Zayden yang sedang mengambil bangku di meja sebelah agar lebih dekat di sisi gue.

"that's why I'm here." Kata Kak Zayden sambil membuka plester untuk luka.

"L-lo ga percaya sama foto-foto itu?" Gue memberanikan diri untuk bertanya.

"Gue percaya sama foto itu tapi gue ga percaya sama kabar yang tersebar," jawab Kak Zayden sambil memasangkan plester luka di pelipis gue.

Gue menatap mata Kak Zayden yang fokus melihat plester agar tepat menutupi luka di pelipis gue.

"Terlihat tulus." Batin gue.

"Kenapa liatin gue?" Tanya Kak Zayden sambil menekan plester luka hingga gue tersadar dari lamunan.

"Aw! Sakit!" Ucap gue sambil memegang plester yang terpasang di pelipis, "kok bisa lo ga percaya sama kabar itu sedangkan tadi aja lo pergi pas liat gue datang?"

"Waktu lo datang, gue baru ingat pelipis lo luka." Jawab Kak Zayden, "dan diantara ratusan komentar ga masuk akal yang ada di Instagram lo, ada satu komentar yang masuk di akal gue."

"Kenapa lo percaya sama satu komentar itu?"

"Karena gue percaya dia yang paling benar."

"Siapa?"

Terdengar suara dering handphone dari saku celana Kak Zayden dan ia merogoh sakunya lalu menjawab telepon yang masuk, "kenapa, Galen?"

Gue memainkan handphone agar gue tidak disangka menguping obrolan Kak Zayden dengan Kak Galen.

"Kok komentar yang ada di kolom pemberitahuan hilang semua?" Batin gue saat melihat foto terakhir yang gue unggah di Instagram, "perasaan ada komentar fitnah juga kemarin? Sinyal penuh, kuota baru diisi juga."

"Gue ke ruang OSIS dulu ya." Kata Kak Zayden sambil berdiri dan memasukan handphone ke saku celananya, "semangat buat hari ini."

Gue mengangguk dan melihat Kak Zayden keluar dari kelas MIA 2 dan teman kelas gue bergerombolan mulai masuk ke dalam kelas.

"Mereka ga masuk karena ada Kak Zayden atau karna hal lain?" batin gue kemudian menutup wajah gue kembali dengan tas yang berada di atas meja.

Gue mendengar bisikan teman kelas gue yang membicarakan foto dan kabar fitnah yang tersebar.

"Gue harus bilang kalau yang di foto itu bokap gue sendiri? Kalau mereka ga percaya gimana?" Otak gue terus memikirkan kemungkinan terburuk jika gue melakukan suatu hal.

Seseorang memukul papan tulis dengan keras hingga gue terkejut dan refleks mengangkat kepala untuk melihat apa yang terjadi.

"Kabar yang tersebar itu ga benar, guys!" Ucap Gavesha, "seharusnya kita percaya sama teman kita sendiri."

"Tapi teman juga ada yang menusuk dari belakang loh, Ca." Saut teman kelas gue.

"Tapi kalian ga boleh malah semakin menyebar fitnah itu. Dosa lo ngalir!" Gavesha seperti membela gue.

"Terus yang benar gimana?" Tanya salah satu teman kelas gue yang berhasil membuat semua mata tertuju kepada gue.

"F-foto itu foto bokap kandung gue." Gue berusaha menjawab sejelas-jelasnya.

"Katanya itu bokap Kak Jarvin?"

"Emang kalian pernah lihat bokap Kak Jarvin?" Tanya gue.

Gue rasa pertanyaan gue cukup membuat mereka diam untuk beberapa detik.

"Terus foto lo sama Kak Jarvin yang di pantai?"

"Hari Sabtu kemarin gue ke pantai sama bokap terus bokap gue ada online meeting dan nomor urutan buat main jet ski udah dipanggil, tapi gue belum pernah menyetir jet ski sendirian. Sedangkan kalau gue harus mengambil nomor baru ya gue harus membayar dan menunggu lagi dari nomor terakhir yang udah mendaftar dan membeli tiket. Terus penjaga pantai nanya ke Kak Jarvin, dia bisa ga menyetir jet ski? Karena Kak Jarvin yang punya nomor urutan setelah gue. Yaudah jadi gue main sama Kak Jarvin."

"Jadi lo ga suka sama Kak Jarvin?" Tanya Gavesha.

Lumayan menohok, tapi gue tahu kalau Gavesha suka sama Kak Jarvin.

"Gue ga suka sama Kak Jarvin." Ucap gue.

Gavesha berlari ke arah gue dan memeluk tubuh dingin karena ketakutan ini dengan erat.

Teman-teman lainnya juga mengucapkan kata maaf.

Tentu, gue memaafkan mereka.

Tapi tidak dengan Charissa dan Laquitta.

Hari ini tidak seburuk yang gue bayangkan, walaupun gue sedikit berbohong tentang Kak Jarvin.



- xoxo, ririrei -

EX ENEMYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang