"Kamu tahu kenapa aku harus lakuin ini, kan?"
Hyunae saat itu tengah duduk, berdua dengan seseorang yang tak juga mengangkat topinya sedari awal mereka duduk berhadapan. Di sebuah ujung kafe yang sepi, ia dan si pemuda telah di sini dengan total satu jam diskusi dan satu jam berkelahi. Kini, si adam yang masih gusar itu menyilangkan tangan di depan dada, sedang mukanya tertutup oleh bucket hat hitam gelita.
"Aku enggak tahu," balasnya, ringkas. Hyunae menaikkan alisnya, lalu membuang peduli yang percuma. Ia susun kliping tadi dalam map sesuai kebutuhan, dan ia berikan yang berwarna hitam pada si lawan bicara.
"Kamu tahu, dan aku tahu. Tapi itu nggak penting, ya kan?"
Lelaki itu berganti posisi, kini duduk sambil memeriksa isi map hitam yang diberikan oleh si hawa. Berdecak, "Aku masih enggak tahu kenapa kamu harus lakuin ini, Kim Hyunae. Kamu sekarang udah percaya lagi sama manusia? Aneh, kamu sendiri yang paling tahu enggak ada yang bisa dipercaya."
"Doesn't sound like a loss for me, Huang Renjun."
Renjun yang dipanggil lantas mendongak, maniknya menyipit kesal. "Tetap aja, emang apa yang kamu harapin dari sini?"
"Aku lagi cari uang, Renjun. Ah, enggak. Anggap aja ini jaminan," ucap Hyunae dengan tawa ringan. "Kamu bakal bantu aku, kan? Bukannya pertemanan dari kita umur enam tahun merupakan alasan yang cukup buat kamu bantu aku?"
Si lelaki Huang itu mendengus. "Saat perusahaan ayahmu bangkrut, kamu langsung memutus kontak ... bahkan enggak memperbolehkan aku untuk melayat. Kamu yang tiba-tiba bersikap seolah kita bukan teman, sampai-sampai aku harus diam-diam kalau ketemu kamu supaya enggak ketahuan anak-anak."
"What can I say? Na Jaemin's being a little bitch, back then," balas Hyunae. "Semuanya udah oke sekarang. Tinggal satu hal aja, sebenernya. Tapi aku enggak bisa ikut campur ... aku harus tunggu waktu yang tepat dulu." Gadis itu kemudian menghela napas. "Aku enggak tahu apa yang Jisung mau, kata damai dari ayahnya atau putus hubungan sepenuhnya? I wish I knew, tapi kayaknya Jisung juga enggak tahu mau dia apa."
"Parents-child relationships are not easy to understand," komentar si pemuda dengan rambut pirangnya. "And very troublesome, also. Karena itu aku memilih putus kontak sekalian, hubungan manusia itu rumit dan menyebalkan."
"Kamu akan jadi perjaka tua." Hyunae merotasikan bola matanya dengan malas. "But I guess I can't judge you that much. Hubungan orang tua dan anak memang enggak bisa dijelaskan dengan kata sayang atau benci semata. That's why I think it's wise for me to wait and observe what my boyfriend's want first."
"He's one hella lucky guy, but don't you think he's too naive sometimes?" Renjun membuang napasnya dengan keras. Na Jaemin memang terlalu licik dan ia tidak menyukai cara si pemuda Na itu meng-handle sesuatu, tapi ia lebih tidak suka dengan kepolosan Jisung yang bahkan tidak bisa melihat apa yang ada di depannya. Terlalu naif, bukannya Jisung sendiri yang punya kebiasaan menganggap ringan sesuatu? "But of course, what can we expect from a spoiled brat that never had things rough. His dad basically raised him to be a brat, walau aku harus akuin juga cara ayahnya itu sangat menyebalkan, tapi aku rasa Jisung terlalu dilindungi oleh imej putra kaya rayanya."
"Nah, I think something inside of him changes," ucap Hyunae, menimbang. "Setelah perkelahian dengan ayahnya, aku rasa dia jadi lebih peka dengan keadaan dan keputusan. He's now sharp, you know. I feel like the naivety of his is now long gone after he realized how this world really works. Selama ini, kan, dia cuman lihat gimana cara mainnya para pengusaha busuk itu, tapi baru sadar dia terlibat langsung.
And I said, Huang Renjun, we just need our own turbulance."
Turbulensi yang mendorong terjadinya perubahan masif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumor.✓
FanfictionTrust your brain, your heart is stupid as fuck. ☽ / / park jisung (박지성), COMPLETED