♛treintra y ocho♛

905 203 15
                                    

Pemakaman kerap memberikannya semilir yang familier tetapi asing di saat bersamaan. Mungkin dengan alasan itu juga ia jarang berkunjung ke makam ayah dan ibunya. Namun, ia tetap memastikan setiap 6 bulan sekali ia dan Doyoung akan datang untuk menaruh bunga dan mencabut rumput-rumput liar, walau sebenarnya sudah ada jasa membersihkan makam yang disediakan.

Angin yang ada di pemakaman selalu membuatnya emosional. Pertama kali ia datang karena tengah bersedih, berjuang untuk menerima fakta bahwa ke depannya, ia harus berdiri kuat demi adiknya, Hyunae merasakan pelukan yang datang tanpa wujud. Seolah udara di pemakaman berusaha memeluknya, menenangkannya. Ia menangis kencang, saat itu, menyadari kalau ayah dan ibunya pasti masih menjaganya.

Apakah manusia akan kekal apabila terus diingat dalam hati dan memori?

Pertanyaannya muncul begitu saja. Namun, sekali lagi, Hyunae tak sering mengunjungi pemakaman karena takut ia akan terjerat serangan emosional. Ia tak setangguh itu.

Maka, ketika Jisung mengajaknya untuk mengunjungi makam ayah dan ibunya, Hyunae mau tidak mau terhenyak.

Firasatnya buruk, sungguh. Tatapan yang diberikan Doyoung di depan pintu ketika Jisung dan Hyunae berangkat sarat akan khawatir dan gelisah. Ia meyakinkan adiknya, tak akan terjadi apa-apa, walaupun ia sendiri tak yakin sepenuhnya.

Kini, mereka telah sampai di depan batu nisan sang ayah dan ibu dari Kim Hyunae dan Kim Doyoung. Bersebelahan, ia membeli dua petak tersebut dengan maksud mewujudkan permintaan terakhir ayahnya. Tuan Kim, sebelum wafat, berpesan kalau beliau tidak ingin ditempatkan di rumah abu, suasananya suram dan sedu.

Beliau juga meminta agar guci penyimpan abunya tak diletakkan di rumah, takut-takut Doyoung secara tak sengaja memecahkannya. Adiknya itu dulu begitu hiperaktif dan pecicilan, segala vas bunga dan dekorasi rumah ia pecahkan.

Hyunae menghela napas. Kekhawatiran yang sia-sia, karena nyatanya Doyoung jadi lebih pendiam setelah kematian kedua orang tuanya.

Jadi, ia pesankan tempat yang dipenuhi udara segar. Agak jauh dari perkotaan, di mana sekelilingnya masih banyak tanaman hijau. Letak pemakamannya di dataran tinggi sehingga hawanya sejuk. Hyunae pikir ini tempat yang cocok, sebagai hadiah terakhir yang ia berikan pada ayah dan ibunya.

Ia hanya tak pernah menyangka akan membawa Jisung ke tempat ini, yang bahkan jarang ia datangi karena ia tak ingin melankolis.

"Hyunae, Love." Jisung memanggil. "Kamu ngelamunin apa? Ayo duduk."

Hyunae tersentak, kembali ke realitas di mana ia tengah memandang Jisung yang membungkuk hormat pada makam ayahnya. Lelaki itu kemudian duduk bersila, setelah membentangkan jaketnya untuk si gadis gunakan sebagai alas.

Si pemuda Park kemudian menyusun karangan bunga yang telah mereka beli sebelum datang. Hyunae pun duduk dengan perlahan, ia tak tahu harus bicara apa di keadaan seperti sekarang.

Tak biasanya lidahnya kelu seperti ini.

"Ehem." Jisung berdeham, batuk sedikit dengan suara beratnya. "Selamat siang, Tuan Kim ... saya Jisung. Jisung Park ... pacarnya Hyunae sekarang."

Hyunae tersedak salivanya sendiri.

"Pertama-tama, saya ingin berterima kasih untuk Tuan dan Nyonya Kim yang sudah membesarkan dan merawat Hyunae ... terima kasih karena telah memberi Hyunae banyak cinta dan kasih, sehingga Hyunae tumbuh dengan baik sampai sekarang. Putri Anda benar-benar luar biasa, Tuan Kim, perempuan paling luar biasa yang pernah saya temui."

Jisung tersenyum, seolah tanpa malu. Hyunae sampai terkejut, ia tahu kepercayaan diri Jisung memang lumayan tinggi, tapi di keadaan seperti ini? Tak pernah ia bermimpi akan ada adam yang secara blak-blakan memuji Hyunae di hadapan makam ayah dan ibunya, dengan begitu berani.

Rumor.✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang