we continue.
Langkahnya berderap tegap, terdengar menggema di sekeliling gedung yang mencekam. Jisung dengan muka yang masih lebam itu menerjang ke ruangan pribadi milik ayahnya. Bahkan setelah dilarang-larang oleh resepsionis, persetan.
Dengan keras ia banting pintu tadi sampai membuka, meraih atensi dari seorang pria paruh baya yang sedang duduk di mejanya.
"Park Jisung?"
Dengar? Jisung mendengus remeh. Bahkan ia memanggil anaknya dengan nama lengkap, tanpa ada kehangatan sama sekali.
Sejak dulu, tidak ada ikatan keluarga di antara mereka.
Dengan nada miris ia lalu bertanya, "Kenapa Ayah lakukan itu?"
Ayahnya lantas mengernyit tak paham. "Lakukan apa?"
"Semuanya." Jisung menjawab dengan singkat. "Semua yang Ayah lakukan. Mengekangku, menggiringku seperti kambing, dan menempaku tanpa ampun. Katakan, aku ini anakmu atau bukan? Aku ini, hanya objek dan bidak caturmu?"
Ayahnya hanya diam. Menganggap kalau ini adalah salah satu dari argumen Jisung yang kesekian. Baginya, anaknya sedang memasuki masa memberontak, wajar. Ia dahulu juga begitu, semua perlakuan yang ia lakukan sekarang pada Jisung adalah warisan turun-termurun. Didikan keras sudah biasa untuk keluarga prestigious seperti mereka.
"Aku tidak mengerti, Jisung," ucapnya, ringkas dengan nada yang datar. Ekspresinya tak menunjukkan hal yang berarti, seolah ucapan anaknya hanyalah tantrum sementara. "Buat aku mengerti, kenapa kau tiba-tiba seemosional ini?"
Jisung lantas terpaku.
"Aku? Emosional?" Ia seperti tidak mempercayai pendengarannya. "Lebih aneh jika aku tidak merasakan apa-apa, Ayah. Setelah aku tahu perbuatan kotor yang perusahaan ini sembunyikan ... mustahil aku malah membuang muka. Did you raise me to be heartless?"
Ayahnya tampak berpikir sejenak, memahami apa yang tengah dibahas oleh anaknya.
"... Perusahaan Kim, Ayahlah dalangnya, 'kan?"
Ah, begitu rupanya.
"Apa yang terjadi pada perusahaan Kim adalah pemandangan yang biasa terjadi di dunia bisnis, Jisung. Bukannya kau tahu sendiri?" Si Tuan Besar melipat tangannya. "Ini adalah hal yang biasa, aku katakan sekali lagi. Coba kau ingat, bukannya Park Jisung setahun yang lalu akan berkata hal semacam 'yang tidak berguna harus dienyahkan'?"
"Tapi menghancurkan suatu perusahaan—"
Sedetik kemudian Jisung tersadar.
How much his words weigh. Betapa berat efek yang terkandung dalam suatu kalimat yang terdengar ringan ....
Seharusnya ia sadar kalau kata-kata adalah pisau yang tak kasatmata.
Melihat Jisung terhenyak begitu, Tuan Park seketika tahu tahu, Jisung tidak seratus persen mewarisi jalan pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumor.✓
FanfictionTrust your brain, your heart is stupid as fuck. ☽ / / park jisung (박지성), COMPLETED