Terungkap

222 20 2
                                    

Pov:Elias

Alibiku hanya memanggil mba Sati, tetapi dalam benakku terbesit puluhan pertanyaan yang akan aku hujankan padanya saat bertemu, huft... aku tidak akan peduli jika nanti dia gagu untuk menjawabnya.

"Mba, buka pintunya!" ujarku setengah berteriak, tetapi yang dipanggil justru hanya diam.

Aku tidak tahu sedang apa dia di dalam, apakah tidak ada orang yang kupanggil? Kulihat kamarnya begitu gelap, hanya ada cahaya lilin yang menyala di samping kanan dan kiri ranjangnya.
Tunggu! Lilin? Ada apa di dalam, aku jadi makin penasaran, karena tak kunjung ada jawaban aku dobrak saja pintunya

"Brakk...," suara pintu terdobrak itu menggemuruh di lantai dua, mungkin saja orang-orang di lantai bawah juga mendengarnya, aku segera memasuki kamar gelap itu, samar-samar terlihat mba Sati terlelap dengan sangat anggunnya, kedua tangannya ditangkupkan ke perut, tapi apa fungsi kedua lilin ini? Tanpa pikir panjang aku langsung mematikan lilin dan menyalakan lampu agar keadaan menjadi terang, jujur aku sedikit takut dengan ruangan gelap.
Kuperhatikan lagi mba Sati, sepertinya itu bukan tidur biasa, aku tak tahu bisikan darimana tiba-tiba saja terbesit untuk memegang dahinya, tapi betapa terkejutnya aku ketika kening atau dahinya sedingin es, badannya pun sama, tak lama kemudian bibirnya membiru, aku panik aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tiba-tiba wajah mba Sati seperti ada yang mencakar, muncul luka cakaran dan tetesan darah segar yang keluar dari luka itu, ia merintih dan membuat aku semakin tak karuan ketika tubuhnya mengejang, namun yang tidak aku mengerti di pergelangan tangan mba Sati dan aku muncul seberkas sinar merah aneh yang membentuk gelang, aku tidak tahu apa fungsinya, tiba-tiba semuanya gelap, aku seakan berpindah dunia namun di sana tidak ada siapapun jua, hanya suara gaduh seorang lelaki tua dan sepertinya ada satu suara yang aku kenal? Sepertinya itu mba Sati! Aku segera mencari sumber suara itu, menyusuri semak belukar dan pepohonan besar nan rindang di malam hari yang menakutkan di ujung sana ada sinar merah yang menyala, aku segera menghampiri dan benar saja, ada mba Sati yang sedang terkapar lemah lalu satu mahkluk lagi, itu adalah mahkluk yang sering mengganggu kami, Brajah, begitu mereka menyebutnya.

"Berhenti," teriakku pada mahkluk itu yang terlihat akan melecehkan mba Sati, ia sudah akan merobek baju yang melekat di tubuh mba Sati

"Mahkluk brengsek," teriakku lagi, perkataanku seakan menyadarkan dia akan keberadaanku. Ia berlari menuju tempatku berdiri yang bahkan tidak ada tiga meter jaraknya

"Hahahaha... Kedatanganmu, sudah aku tunggu-tunggu. Anakku," ujar mahkluk itu dengan santainya, ia seakan bersorak senang melihat aku berada di tempat itu

"Cih, jika benarpun, aku lebih memilih menjadi anak durhaka," balasku mendengar perkataannya yang begitu menjijikan

"Jangan sentuh dia!" teriak mba Sati di sisa sisa tenaganya, ia terlihat begitu ketakutan saat aku datang

"mba!" teriakku melihat keadaan mba Sati yang sangat lemah

"Ouh, mba? Dia sudah tahu siapa jati dirinya!" sekarang giliran si Brajah yang berteriak ketakutan mendengar kata 'Mba' yang terlontar dari mulutku, aku tidak tahu apa maksudnya, padahal aku memanggilnya mba karena dia lebih tua dariku dan karena dia asisten rumah tangga di rumahku. Ternyata bukan hanya Brajah tapi aku dan mba Sati juga terkejut dalam hati.

Mahkluk yang sedari tadi memanggilku Anaknya, kini kikuk dan terlihat kebingungan. Aku dan mba Satipun ikut bingung, namun mba Sati menyuruhku untuk menghampirinya

"mba, kau gak apa-apa kan," keluhku memegang tangan mba Sati, mungkin raut wajahku saat ini memang sangat terlihat bagaimana aku menyayangi mba Sati

"Elias, aku, -" mba Sati mengatakan itu terpotong-potong

"kenapa mba, ada apa?" tanyaku dengan wajah memelas

"kamu, a-daal-ah adikku." Deg. Bagaimana perasaanmu ketika orang yang kamu cintai dan kamu berharap hidup menjadi pasangan bersamanya ternyata saudaramu sendiri, tapi bagaimana mungkin?

"apa? mba, kalo ngomong yang bener. Gimana caranya kita bisa jadi kakak beradik?" mataku seakan ingin meneteskan bulir bening yang disebut airmata, dadaku sesak, aku tak bisa menerima ini

"nanti mba ceritain, sekarang kita keluar dulu dari sini ya." saran nya menenangkanku sedangkan terlihat dari ekor mataku mahkluk itu meninggalkan kami begitu saja

                         '———————————-'

Semua orang bersorak saat Elias membuka matanya, baru saja sadar dari tidur yang entah berapa lama dia sudah dikerubuti seluruh keluarganya termasuk ayahnya, raut wajah mereka terlihat begitu kecewa

"ada apa ini?" tanya Elias dengan mata yang masih remang-remang

Sebuah tamparan mendarat di sebelah kanan pipinya, tapi tamparan itu akhirnya menyadarkan Elias sepenuhnya.

"Mamah, kenapa tampar El?" dialah orangnya, wanita yang ia panggil mamah yang menampar pipi anaknya hingga memerah

"Ros, sudah! Jangan terlalu emosi. Tidak baik." Ujar Sang Nenek mengelus pipi El bekas tamparan yang bahkan masih terasa perihnya

"gimana saya nggak emosi besar, anak yang selama ini saya rawat dengan tega-teganya melecehkan pembantu saya? Mau ditaro di mana muka saya ma?" Katanya panjang lebar, El dan neneknya hanya diam kemudian Rosmiana kini berbalik dan meninggalkan mereka semua

"Ia, El tau El bukan anak mamah." Teriak Elias ketika sang mamah telah sampai di luar pintu kamarnya

"Elias!" sekarang giliran neneknya yang berteriak pada Elias, nenek yang tadinya bersikap sangat lembut, untuk pertama kalinya membentaknya

Dan akhirnya, neneknya pun meninggalkannya. Kini tersisa ayahnya yang duduk disampingnya lalu mengelus punggungnya, gerakan yang sudah terkenal untuk menenangkan siapapun yang sedang emosi dengan cara lembut

"sebenarnya ada apa, sih, Pah?" tanya Elias pada ayahnya,

SATI (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang