Seperti yang sudah disepakati; siang itu tepat ketika jam menunjukkan pukul setengah empat sore, Cha Jeno terlihat sudah siap dengan tas gitarnya. Memakai kaos lengan pendek putih polos, celana levisnya juga berwarna senada, tak lupa rambut hitam itu pun ditata sedemikian rupa. Mengundang seruan kagum tanpa suara Jaemin yang baru saja keluar dari rumah, ia yang juga bersiap untuk bekerja paruh waktu itu dengan segera menuruni tangga sebelum kemudian dengan jahil menepuk keras bahu si kakak.
"Omo, lihat siapa yang begitu antusias dengan kencannya sore ini--"
"Diam kau Cha Jaemin! Aku sedang tak dalam suasana hati ingin bercanda sekarang."
Jaemin terkekeh. Sungguh, ia sebenarnya ingin menggoda Jeno lebih lama, tapi melihat kakak yang daripada kesal lebih terlihat gugup begini membuat lelaki itu hanya mengangkat alisnya tinggi. Lalu perlahan menaikkan lagi tangannya, lengan kembarannya dielus sayang sembari ia berkata. "Jangan gugup begitu, kau bilang Sungchan seratus kali lebih baik dari Karina. Jadi pasti semua akan baik-baik saja, Hyung."
Apa yang Jaemin katakan, seketika membuat bulu halus Jeno meremang. Melihat heran pada adik kembarnya, jarak ia ciptakan lebih jauh dengan menggeser diri; panggilan Hyung itu benar-benar membuatnya merinding.
"Kau baik-baik saja? Tidak salah makan sesuatu 'kan?"
Kali ini dengusan tawa yang jadi respon. "Salah makan sesuatu apanya..." kata Jaemin. "Aku hanya ingin menyemangatimu saja, sebagai saudara dan orang yang sama-sama akan menjalani kerja paruh waktu. Memangnya ada yang salah dengan itu?"
"Tentu saja! Itu terdengar bukan seperti dirimu sekali."
"Lantas aku harus bagaimana? Menyerukan pada dunia kalau sekarang...." oh lihatlah, mata yang menyipit jahil itu; Jaemin benar-benar akan menggoda Jeno lagi sekarang. "Cha Jeno sangat antusias dengan kencannya bersama dewi sekolah--"
"Yaish! Kau ini ya!"
Seruan Jeno yang sekarang benar-benar terdengar kesal itu diabaikan oleh Jaemin yang bergegas lari menjauh. Menjulurkan lidah sebagai tanda kalau kali ini dia menang lagi, si kakak kembar yang tak bisa meninggalkan tempatnya karena harus menunggu jemputan itu hanya bisa melotot pada dia yang sudah menghilang begitu sosoknya berbelok setelah melewati pagar.
Menghela nafas, sesaat setelah mengulang lagi apa yang Jaemin katakan, dadanya perlahan terasa hangat sampai Jeno tidak bisa menyembunyikan senyumnya; Jaemin mungkin terlihat tak tulus saat mengucapkannya, tapi baginya yang sudah mengenal lelaki itu seumur hidup, kata-kata penyemangat itu benar adanya.
Getar ponsel disaku, mengejutkan ia yang merasa 'agak tersentuh' dengan ucapan Jaemin tadi. Segera merogoh kantung celana bagian kanan depan, tepat sebelum benda yang sudah ia keluarkan dari sana ditempelkan ke telinga, mobil familiar yang berhenti di depan rumah bersamaan dengan munculnya seorang gadis dari balik jendela begitu kaca diturunkan membuat Jeno membeku.
Melihat Karina Yoo yang melambai padanya, ponsel milik si gadis yang ada di telinga itu jadi tanda bahwa memang ialah yang menelepon Jeno. Lantas tanpa mengangkatnya, lelaki ini memilih untuk menghampiri si dewi sekolah saja; walau tak terlalu menyukai si perempuan, tetapi ia harus tetap beretika dengan jangan membiarkan dia yang sudah menjemput menunggu terlalu lama.
"Hei, kita berangkat sekarang?"
Pertanyaan Jeno, mengejutkan Karina yang sempat terdiam; itu pertama kalinya ia melihat si lelaki tanpa seragam dan sepertinya gadis ini jadi 'agak terpesona' karenanya.
"A-ah, tentu. Kita berangkat sekarang..." setelah deheman rendah, ia menjawab. Sejenak mengalihkan mata dan menghembuskan nafas panjang, sebelum kemudian membukakan pintu mobil untuk Jeno. "Masuklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Uri Appa✔
FanfictionJaemin dan Jeno pikir keluarga yang mereka miliki sekarang sudah lebih dari cukup; keduanya sama sekali tak memerlukan sosok 'Ayah' dihidupnya. Sampai ketika Kota Seoul mempertemukan mereka dengan sosok yang bahkan tak pernah ada sejak sepasang kemb...