- 20 -

641 81 4
                                    

Disepanjang lift bergerak, sosok Jung Jaehyun yang jadi salah satu pengisi benar-benar menarik perhatian mereka di dalam sana.

Sudah pasti karena ketampanan, juga gaya busana burjois yang begitu cocok dengan tubuh atletisnya. Namun yang paling menarik perhatian sampai terasa cukup menganggu beberapa yang lain adalah gelagat gelisah itu; berkali ia berdehem, membenarkan dasi, juga menjentikkan kaki hingga bilik kecil itu terasa bergetar saking kuatnya.

Ah, jangan lupa juga; satu buket bunga besar ditangan.

Digenggam Jaehyun erat, tulip merah itu berkali ia naikkan untuk dihirup aromanya. Mengundang kekehan seorang wanita paruh baya disamping; bunga itu bahkan belum mekar, jadi seharusnya bau apek orang-orang dalam lift-lah yang masuk ke indera penciumannya. Lantas apa yang membuat pria ini tetap keukeuh mengecek wangi bunga yang ia bawa?

"Sepertinya hari ini merupakan malam yang spesial untukmu ya, nak," lirikkan Jaehyun yang sadar atas kekeh untuknya membuat si wanita tak tahan untuk 'menyapa'.

"Apa itu terlihat sangat jelas?" senyum itu jadi jawaban yang berarti iya. "Yah, perempuan ini memang bisa dibilang seseorang yang spesial untukku..." matanya menerawang jauh; lelaki ini ragu jika Jiho masih menganggapnya begitu, Jaehyun sadar diri jika kesalahan yang ia buat nyatanya tak termaafkan.

"Dia pasti sangat cantik..." si wanita menanggapi lagi. "Sampai membuat pria tampan sepertimu begitu terpesona."

Tatap Jaehyun ikut beralih pada bunga tulip merah ditangannya; memang benar Kim Jiho secantik itu sampai membuat cintanya pada gadis itu masih tetap bertahan, tak pernah pudar walau sudah berbelas tahun berlalu.

"Lift-nya sudah sampai di lantai yang aku tuju. Kalau begitu aku duluan, Nyonya," suara yang jadi tanda berhentinya lift, menggerakkan lagi bola matanya; itu lantai delapan belas. "Semoga harimu menyenangkan."

Anggukkan itu jadi hal terakhir yang Jung Jaehyun lihat, sebelum akhirnya berjalan keluar dari kerumunan. Membiarkan pintu bilik tersebut tertutup, langkahnya dilanjutkan menuju kamar yang sudah ia pesan untuk pertemuannya kali ini.

Mengkonfirmasi jika Kim Jiho tak membatalkan tawaran pekerjaannya --lewat Johnny Seo, tentu saja-- Jaehyun memutuskan untuk meminta rapat mereka kembali dilakukan di hotel dan ruangan yang sama seperti saat pertama lalu.

Tak ingin membuat Jiho yang baru saja datang ke Seoul itu kesusahan mencari alamat dan bangunan ini juga adalah milik salah satu anak perusahaannya, yang tentu memudahkan Jaehyun untuk mengatur segalanya agar tak satu orang pun bisa tahu apa yang mereka lakukan disana.

Selain berbicara soal pekerjaan, tentu saja.

Nafas ditarik dalam, tangan Jaehyun yang sampai di pintu ruangan tujuan akhirnya meraih knop. Menggerakkan benda itu agar bisa membukanya, tapi ketika satu sosok didalam sana semakin jelas dimata, senyumnya justru menghilang.

"Johnny Hyung, kenapa kau yang datang kesini?"

---

"Saya minta maaf Nona, tapi... tapi... rasanya ini sudah diujung..."

Ucapan mengambang penuh tekanan itu membuat Karina dan Sungchan memasang senyum maklum; padahal itu belum ada setengah jalan menuju mall, tapi tiba-tiba saja Shindong, selaku supir yang diminta untuk menemani mereka menghentikan mobil di depan satu minimarket dengan alasan ingin mengeluarkan isi perutnya.

"Sepertinya kebanyakan makan... sebelum-- argh," kalimatnya terhenti, tangan itu berpindah kebelakang untuk menahan sesuatu yang terasa sudah ingin keluar. "Po-pokoknya Nona dan Tuan, mohon untuk tetap di sini sementara saya pergi ke toilet..."

Uri Appa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang