- 21 -

571 88 6
                                    

Mobil Cha Eunwoo,  membelah jalanan Seoul yang walau ramai namun masih terlihat cukup bisa membuat kendaraan tersebut berjalan mulus tanpa hambatan.

Sesekali, pria yang menyetir itu melirik kaca atas mobilnya. Memperhatikan dua orang anak lelaki yang sedari tadi sibuk dengan tas kertas bertuliskan nama berbagai macam toko; setelah mencari cincin dan makan, Eunwoo membelikan keduanya beberapa pakaian yang sepertinya begitu disukai oleh si kembar.

Bahkan Jeno yang biasanya jarang terlihat antusias jika berada di dekat dirinya pun, matanya sampai berbinar dengan nada bicara yang sedikit meninggi --walau hanya ditujukan kepada sang adik.

"Bulan depan saat gajiku turun, akan aku belikan lagi baju yang lebih bagus. Aku janji."

"Benarkah--"

"Jangan anggap remeh sebuah janji," Jeno yang sebelumnya menyikut Jaemin menyela bahkan sebelum si adik sempat mengeluarkan rintihan. "Kami tahu gajimu tidak sebesar itu untuk bisa selalu membelikan kami baju..." kalimatnya mengambang saat dari kaca atas, matanya bertemu dengan sang Ayah. Lantas segera memutus pandang, ia melanjutkan. "Apalagi dengan harga semahal ini."

Bagi mereka yang tak mengenal Jeno, kalimat itu terdengar meremehkan. Tapi untuk Cha Eunwoo yang sudah mengurus keduanya dari kecil, mudah untuk mengetahui jika maksud si sulung adalah: tidak ingin merepotkan Ayahnya lebih dari ini dengan terus mengeluarkan banyak uang untuk menyenangkan keduanya, apalagi dengan kerja paruh waktu yang sekarang mereka lakukan.

Sangat menggemaskan sampai Eunwoo tak bisa menahan senyum --yang untungnya dilewatkan Jeno, atau anak itu akan marah karena mengira si Ayah mengejeknya.

"Hei, hei, hei, Hyung-ku tersayang..." Jaemin memainkan telunjuknya di depan wajah Jeno. "Jangan pernah remehkan Appa kita ya," katanya. "Begini-begini beliau itu menjabat sebagai kepala koki di restoran ternama. Gajinya tidak sesedikit yang kau bayangkan, bahkan mungkin saja tabungannya sudah mencapai tiga digit--"

"Kalau punya sebanyak itu, aku pasti sudah membeli rumah untuk bisa kita tinggali bersama."

Hening.

Saat itu benar-benar hanya suara mesin mobil yang mengisi telinga tiga orang laki-laki di dalam sana; Eunwoo sadar, jika bicaranya mungkin agak terlalu provokatif apalagi bagi Jeno yang selalu terdengar paling enggan membicarakan 'hubungan harmonis keluarganya' itu.

"Ya-yaaaah, sekarang pun Appa masih bisa menginap di rumah kami jika mau..." Jaemin memberi anggukkan sebagai tanda kalau ia paham jika Ayahnya tak mempunyai maksud apapun dibalik kalimatnya tadi, itu hanya sebuah spontanitas. "Ti-tidak perlu sampai membeli rumah untuk tinggal bersama segala 'kan..."

Eunwoo dan Jaemin tertawa canggung, kemudian melirik Jeno yang nampaknya tak ingin menanggapi apapun; terlihat dari helaan panjangnya, didukung juga dengan kepala yang sudah terarah pada jalanan dengan tangan menopang dagu.

"Berhenti."

"Hah?"

"Ada Eomma," Jeno memutus, tangannya menunjuk jendela. "Baru saja keluar dari minimarket--"

Mobil langsung berhenti; kepala Jaemin menghantup kursi depan, begitu juga dengan Jeno yang padahal harusnya bisa menjaga keseimbangan. Namun tak seperti si adik yang merintih, untuk refleksnya si kakak hanya terdiam sambil mengusap kepalanya tanpa suara.

"Ah, maaf. Aku terkejut, karena tiba-tiba Jeno bilang kalau ada Eomma kalian," Eunwoo langsung menghadap belakang, memastikan kedua anaknya baik-baik saja. "Apa itu sangat sakit?"

"Ti-tidak juga," kata Jaemin sembari membenarkan posisi duduknya. "Mungkin karena terkejut, makanya tadi jadi menjerit."

"Apa perlu aku belikan kompres?"

Uri Appa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang