- 05 -

903 102 9
                                    

Itu petang yang terasa segar bagi Jaemin yang baru saja keluar dari kamar mandi. Berjalan sembari mengusap rambut basahnya, lelaki itu mendapati Jeno dan Ibunya duduk di depan televisi. Dengan cemilan buah pir yang nampak segar, tanpa membiarkan tetesan air rambutnya berhenti terlebih dulu, si bungsu langsung saja melangkah menuju keduanya dan tanpa permisi mengambil tempat di samping Jeno.

"Yaish, makanlah pir yang ada di mangkuk bodoh!"

Seruan Jeno, mengalihkan perhatian Jiho dari televisi. Memasang mata terlebih dulu pada si kakak yang kini berwajah kesal, sebelum kemudian berpindah pada si bungsu yang terlihat mengunyah pir di mulutnya dengan santai; Jaemin yang dengan kelakuan jahilnya seperti biasa, mengambil buah Jeno digarpu yang lelaki itu abaikan seiring dengan fokusnya pada acara televisi.

"Kalau ada yang sudah menusukkannya ke garpu, untuk apa repot-repot mengambil yang ada di mangkuk--"

"Eomma! Lihat Jaemin! Ia mengambil buah pirku!" Jeno memutus, dibuatnya kontak mata dengan sang ibu yang berbaring di sofa.

"Ini cemilan kita semua 'kan Eomma? Jadi harusnya ini milik bersama. Tidak ada yang namanya milikmu dan aku juga bisa sesukaku mau memakannya seperti apa--"

"Tapi tidak dengan cara mengambil apa yang sudah kupilih begitu juga--"

"Hei, hei, sudahlah. Berhenti bertengkar," Jiho melerai sambil bangun dari posisinya. Turun dari sofa, ia ambil tempat diantara anak-anaknya untuk memisahkan sepasang kembar tersebut sebelum situasi semakin tak terkontrol. "Tak baik saling berebut makanan, padahal masih ada banyak di depan kalian--"

"Tapi yang memulai duluan itu Jaemin--"

"Dan Cha Jaemin. Sudah berapa kali Eomma bilang untuk jangan menjahili Hyung-mu, hm?"

Jaemin yang tadi sempat menunjukkan wajah sombong karena merasa dibela oleh sang Ibu, kini memandangi wanita itu penuh tanya. Menunjuk dirinya sendiri, tanpa kata ia membentuk kalimat 'memangnya-aku-kenapa?'

Jiho menghela nafas. Kedua anak kembar yang sekarang sudah memasukki usia remaja, nyatanya memang lebih susah diatur dan ia harus berkali lipat lebih sabar jika tak ingin suasana semakin memanas. "Eomma sudah menyediakan garpu untukmu. Jadi gunakanlah sebagaimana seharusnya dan berhenti mengganggu Jeno."

Tak segera memastikan soal benar atau tidaknya ucapan sang ibu, Jaemin justru lebih memilih melirik pada Jeno yang saat itu terlihat mendengus puas karena berhasil membuat ibunya berpihak pada si kakak kembar dan tentu saja, adik dengan jiwa tak mau kalahnya bersiap memprotes saudara yang terlihat mengejeknya itu.

Namun ketika kepalanya merasakan sebuah elusan lembut yang nyaman, kalimat yang sudah berada di ujung mulut itu tertelan kembali; ia sadar jika handuknya kini juga sudah tak ada di leher.

"Aigoo..."

Wajah yang terlihat dekat dan mengarah padanya sepenuhnya Jaemin pandangi.

"Padahal kau sering bilang kalau sudah bukan anak kecil lagi. Tapi masih membiarkan rambut basah begini, bagaimana jika nanti terkena flu?"

Itu Ibunya, yang dengan gerakan tak terdeteksi mengambil handuk kecil di leher dan kini mengusap rambutnya lembut. Memadamkan api kesal Jaemin, yang akhirnya hanya perlu waktu supersekian detik untuk memutuskan mengalah. Tak melanjutkan pertengkaran, perhatian yang selalu menghangatkan hati itu membuatnya jadi paham jika perkataan Jiho sama sekali tak bermaksud menyudutkannya; Jaemin mengaku bersalah karena sudah memulai perdebatan tak berarti tadi.

"Tapi ngomong-ngomong Eomma..." ditengah usapan yang masih berlanjut, si bungsu membuka percakapan. "Bagaimana kantor barunya? Baguskah? Rekan-rekanmu apa menyenangkan?"

Uri Appa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang