- 09 -

705 110 40
                                    

"Jeno-ya, tas jajanan di meja makan itu milikmu?"

Pintu yang terbuka, bersamaan dengan munculnya sosok Jaemin membuat Jeno yang sedang berkutat dengan pekerjaan rumahnya itu menoleh. Memandangi sosok saudara kembarnya terlebih dulu, daripada menjawab, ia memilih untuk memandangi jam kecil yang berada tak jauh dari kotak pensil di meja: pukul setengah sepuluh malam.

"Hm, Sungchan memberikannya saat pulang tadi."

"Benarkah?" Mata itu berbinar. Sebelum kemudian meninggalkan sang kakak dengan keadaan kamar terbuka dan sesaat kemudian kembali dengan sebungkus keripik kentang di tangan. "Aku minta satu boleh?"

Lelaki itu mengangguk. Walau Jaemin sangat usil sampai ia seringkali merasa kesal dengan adiknya, tapi Jeno tidak sepelit itu untuk bisa berbagi makanan dengan sang saudara. "Ambil saja, lagipula isinya juga banyak kan?"

Mengikuti apa yang Jeno lakukan sebelumnya, pintu ditutup seiring dengan langkah yang semakin masuk. "Banyak sekali!" ia menjawab antusias, jajan miliknya ditaruh Jaemin di meja tepat di samping buku catatan kembarannya. "Sampai kupikir kau langsung menghabiskan gajimu untuk itu semua--"

"Orang mana yang langsung digaji dihari pertama bekerja? Lagipula Yoo Jimin 'kan sudah menjelaskan jika uang akan diberikan perminggu--"

"Siapa tahu kesepakatannya berubah tanpa aku ketahui," giliran Jaemin memutus, dia yang berjalan menuju lemari baju itu melihat pada Jeno yang sudah menyandarkan punggung di kursi belajarnya. Memutar benda itu kearahnya, alis kakak kembar terlihat sedikit naik; dia merasa jika apa yang lelaki ini ucapkan masuk akal. "Tapi ngomong-ngomong, jika sampai diberi oleh-oleh begitu, berarti semuanya berjalan dengan lancar 'kan?"

Tanpa melepas pandang dari Jaemin yang saat itu melepas bajunya, Jeno mengangguk. "Sangat lancar, Sungchan juga mudah sekali diajari," ia melanjutkan. "Dan kau tahu Jaemin-ah? Ternyata kami belajar bukan di rumahnya Sungchan, tetapi rumah Samchon-nya."

Padahal Jaemin sedang fokus meniti baju-bajunya di lemari, tapi alis yang terangkat itu jadi tanda jika ia mendengarkan Jeno. "Begitukah?" Ia bertanya, sembari menjulurkan tangan untuk mengambil baju tidur yang hendak dipakai. "Lalu apa Samchon-nya baik?"

"Tidak hanya baik, seperti Sungchan, dia juga luar biasa!" Jeno yang jarang menjukkan emosi kali itu terasa sedikit lebih bersemangat, terdengar dari pekik yang tertahan itu. "Dia terlihat sangat muda dari usianya, tubuhnya juga bugar dan..." mata yang menerawang membayangkan sosok pria yang baru ditemuinya hari itu fokus lagi pada Jaemin yang baru saja selesai memakai celana gantinya; lelaki ini tak tahu, tapi membicarakan Paman Sungchan yang padahal baru ditemui hari ini benar-benar membuat dadanya terasa hangat. "Dia sangat tampan sampai membuatku sempat berpikir bagaimana bisa ada keluarga yang isinya orang-orang seperti itu?"

Cerita yang terdengar berlebihan itu membuat Jaemin mendengus. "Mwoya, kau benar-benar tidak seperti dirimu sekali hari ini," katanya sembari menutup lemari. "Atau kau sengaja bilang begitu karena Sungchan sudah memberimu banyak cemilan?" Dan ia yang sedang berkaca untuk merapikan rambut itu menambahkan sebelum Jeno sempat menjawab. "Lalu kalau berbicara visual, daripada mengagumi milik orang lain, bukankah sebaiknya melihat milik kita sendiri dulu?"

Kening Jeno mengrenyit.

"Kau dan aku sadar kalau kita ini sangat tampan. Sudah pasti itu karena Eomma dan orang itu memiliki visual yang tak kalah bagus dari keluarganya Sungchan 'kan?"

Binar antusias yang awalnya meluap-luap itu seketika hilang saat mendengar ucapan Jaemin. Terdiam sejenak memandangi si adik yang menghampiri, Jeno kemudian mendengus tawa; ia tahu siapa yang Jaemin sebut dengan panggilan orang itu. "Ketampanan macam apa yang harus kukagumi dari dia yang rupanya saja sama sekali tak kuketahui?"

Uri Appa✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang