Seperti layaknya seseorang yang ingin bertemu rekan untuk urusan pekerjaan, Jung Jaehyun yang baru saja keluar dari lift itu datang ke tempat pertemuan dengan pakaian rapi, memakai jas kerja berwarna biru gelap dengan celana senada, kemeja putih tanpa dasi jadi pilihan agar tetap menampilkan kesan santai mengingat jika ini adalah sebuah pertemuan yang bisa dibilang tidak terlalu resmi.
Melanjutkan langkah, satu-persatu nomor kamar dilantai lima belas ia lihat, wajah itu tenang dengan mulut yang terkatup rapat. Terlihat diam di sepanjang jalan, tak ada yang tahu jika dalam pikiran ia sedang berulang kali mengulang nomor kamar yang tadi disebutkan resepsionis.
1515.
Berhentilah ia saat akhirnya mata itu mendapati apa yang dicari. Berdiri tegak berhadapan dengan pintu, jas ia rapikan sebelum kemudian berdehem rendah untuk memastikan jika serak yang sedikit terasa itu tak menganggu. Kemudian mengangkat tangan, kartu pas yang memang sedari tadi dipegang ditempelkamnya pada pengaman dan sesaat kemudian terdengarlah bunyi yang familiar tanda jika pintu sudah terbuka.
Tanpa menunggu apapun, langsunglah ia masuk ke dalam. Meninggalkan pintu yang berayun untuk menutup sendiri, kaki yang awalnya berniat melanjutkan langkah lebih jauh itu tiba-tiba membeku dengan mata membelalak serta nafas tertahan, saat mendapati sosok yang berdiri di depannya.
Dengan setelan blouse lilac, rambut panjang hitamnya masih seindah dulu, wajahnya bagi pria itu sama sekali tak berubah sejak terakhir kali ia melihatnya, bahkan suara yang 'menyapa' dirinya masih bisa membuat Jung Jaehyun langsung bisa tahu jika itu adalah Kim Jiho, yang masih selalu jadi pengisi hatinya walau sudah belasan tahun berlalu.
"Ji-jiho-ya?" Nama itu langsung disebut, menjalankan waktu yang terhenti, bahkan kakinya yang tadi terasa sulit untuk maju itu kini mulai melangkah mendekatinya; rasa rindunya benar-benar membuat pria itu hilang akal sampai ingin langsung segera memeluk dia yang kini benar-benar hanya sedekat lima langkah. "Kau-- ini sungguh dirimu--"'
Kim Jiho mundur, tubuh kokoh yang sudah nyaris bersentuhan dengannya itu di dorong kuat sampai memperlebar jarak yang tadinya sangat tipis.
"Jangan mendekat!" Seruan tercekat itu anehnya bisa terdengar jelas. "Kumohon jangan mendekat, Jung Jaehyun..."
Pria yang sesaat lalu itu nampak tak mau menyerah, akhirnya menutup satu kaki yang tadi sempat ingin melangkah lagi saat mendengar Jiho memanggilnya dengan nama lengkap; kebiasaan si perempuan saat dia dalam mode serius masihlah belum berubah.
"Kau-- kau apa baik-baik saja? Bagaimana--"
Suara getar ponsel yang memutus khawatir Jaehyun, mengalihkan pandang keduanya pada saku celana Jiho yang bercahaya, dari warna yang terlihat bisa dipastikan jika itu adalah sebuah telepon.
"Yeoboseyo?"
Jaehyun perhatikan Jiho yang menelepon dalam diam. Menikmati wajah yang hanya bisa ia lihat lewat satu-satunya foto dompet, semua kenangan tentang Jiho serta masa-masa bahagia mereka dulu hilang entah kemana bersamaan dengan kepindahannya ke Amerika saat itu.
"Apa? Jeno kenapa?!"
Nama itu menyadarkan Jaehyun dari nostalgia singkat, 'Jeno' buat pria itu tak asing sampai langsung mengingatkannya pada satu anak yang belakangan ini sering datang ke rumahnya untuk mengajari Sungchan bermain gitar.
"Berbicaralah yang jelas Jaemin-ah! Eomma tidak bisa mendengar jika kau panik begitu..."
Satu sebutan lain hadir, sepasang nama itu membuat Jaehyun yang sempat menyanggah pikiran tentang Jeno yang mungkin saja orang lain itu benar-benar musnah saat 'Jaemin' juga ikut disebut. Terlebih lagi kata 'Eomma' yang Jiho gunakan saat berbicara dengan penelepon diseberang sana...
KAMU SEDANG MEMBACA
Uri Appa✔
أدب الهواةJaemin dan Jeno pikir keluarga yang mereka miliki sekarang sudah lebih dari cukup; keduanya sama sekali tak memerlukan sosok 'Ayah' dihidupnya. Sampai ketika Kota Seoul mempertemukan mereka dengan sosok yang bahkan tak pernah ada sejak sepasang kemb...