Chapter 37: Mendaki Pegunungan Lintang Utara

37 13 3
                                    

Ini adalah hari ketiga sejak meninggalkan Glafelden. Entah kami sudah berjalan sejauh apa. Yang jelas semakin mendekat ke Kota Arnest. Saat ini kami sudah tiba di lereng gunung setelah melewati padang rumput.

Menurut peta tua yang kubeli dari pedagang di pinggir jalan, Kota Arnest seharusnya ada di balik Pegunungan Lintang Utara. Di dunia yang tidak ada teknologi canggih seperti GPS atau gadget elektronik, peta dan kompas adalah dua hal utama yang diperlukan saat melancong di dunia ini.

Pembuatan peta di Juiller dibuat dengan seni kartografi kuno. Biasanya para penjelajah menggambar tempat-tempat yang sudah pernah mereka datangi di atas kertas. Aku cukup takjub ketika melihat ada peta wilayah Elvian yang dijual. Itu artinya, siapa pun yang membuat peta ini pernah datang ke wilayah Elvian. Entah itu manusia yang menyusup atau justru kaum Elvian sendiri, tapi berkat dia lah kami berada di arah yang benar.

"Peta ini cukup akurat juga," sahut Dimas sembari melihat ke arah kompas dan mencocokkannya dengan peta yang terbentang di atas tanah. "Jika kita melewati puncak gunung ini, seharusnya kotanya sudah dapat terlihat."

Mataku melihat ke arah jari telunjuk Dimas yang berada di atas peta. Titik yang ditandai pria itu adalah posisi kami sekarang. Berdasarkan peta, letak Arnest sejajar dengan lokasi kami. Benar katanya, kita akan langsung melihat kota itu begitu berada di puncak gunung.

Yang jadi masalah adalah barisan Pegunungan Lintang Utara ini begitu tinggi. Aku bahkan tidak bisa melihat puncaknya karena tertutup kabut yang begitu tebal. Tidak ada celah atau lembah yang bisa dilalui. Jarak antar gunung dan bukit begitu rapat seakan membentuk dinding yang melindungi sebuah kota. Jadi mau tak mau kami harus mendaki ke puncak untuk melewatinya.

"Anggi, ini bagianmu!" seru Shella sembari menyodorkan sepotong roti kering. Aku langsung menyambar dan memakannya.

Saat ini kami bertiga tengah beristirahat untuk makan siang. Sepotong roti kering khas Glafelden yang keras dan air putih yang baru saja diambil dari aliran sungai. Dua menu itu adalah makan siangku hari ini. Tidak banyak perbekalan yang dibawa dari Glafelden, kami sengaja melakukan itu agar barang bawaan tak terlalu berat. Lagipula ini bukan perjalanan piknik.

Bekal yang dibawa sudah hampir habis, mungkin masih sisa untuk dua atau tiga hari lagi. Sisanya kami harus mencari bahan makanan sendiri. Itu bukan masalah selama masih ada hewan liar di sekitar.

"Menurutmu, apa yang akan kita hadapi nanti di Kota Arnest?" tanyaku pada Dimas dengan sedikit cemas. "Aku tidak yakin semua akan mulus tanpa hambatan."

"Harusnya kau sudah memikirkan itu sebelumnya, Bodoh!" jawab pria itu dengan ketus.

"Aku kan cuma bertanya."

"Kita akan segera tahu jika sudah sampai. Karena itu sebaiknya kita tidak perlu terlalu lama di sini."

Setelah makan siang dan beristirahat sejenak, tim yang terdiri dariku, Dimas, dan Shella melanjutkan perjalanan. Mendaki gunung di bawah terik matahari memang sulit. Apalagi dengan medan yang semakin lama semakin curam. Pegunungan ini memiliki lereng yang cukup landai di kaki gunung, tapi semakin curam dari tengah gunung hingga puncak.

Setelah melihat ke sekeliling, pemandangan di wilayah ini tidak buruk juga. Pepohonan begitu rindang memanjakan mata. Barisan pegunungan melintang dari arah utara ke selatan. Mungkin karna itu mereka menamakan Pegunungan Lintang Utara. Karya alam ini sepertinya begitu panjang sampai-sampai aku tak bisa melihat ujungnya. Berdasarkan dari peta yang kubawa, rangkaian gunung ini membentang dan membelah Kerajaan Elvian Barat tepat di tengah. Sama persis dengan Pegunungan Ural di dunia lamaku yang membelah Rusia menjadi dua.

Satu jam berlalu, tas kulit yang kugendong terasa semakin berat. Seakan-akan aku mendaki gunung sembari menggendong seorang bocah berusia sepuluh tahun. Seperti Cedric mungkin. Terik matahari membuat segalanya menjadi lebih buruk. Tim kecil kami jadi lebih sering beristirahat. Shella yang tidak terbiasa berpetualang sepertiku dan Dimas, sering menghentikan langkah kakinya di tengah jalan.

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang PenyihirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang