Chapter 15: Pertemuan Takdir

87 20 11
                                    

Beberapa waktu telah berlalu. Rasa nyeri pada kepalaku telah mereda sedikit demi sedikit. Tidak sesakit seperti sebelumnya, kesadaranku pun kembali perlahan. Berlatarkan langit malam dengan bintang gemintang, dedaunan bergerak dengan cepat seperti jatuh dari air terjun. Permukaan tempatku berbaring berulang kali bergoyang dengan kasar.

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Belasan kotak dan keranjang kayu tersusun rapi. Hanya satu kotak di dekatku saja yang hancur berantakan dan menumpahkan isinya.

Tidak salah lagi, aku masih berada di kargo tempatku terjatuh.

Saat mencoba bangun, rasa nyeri kembali datang. Refleks tanganku segera memegangi kepala, hingga rasa sakit itu berangsur-angsur hilang dengan sendirinya. Aku terduduk di salah satu sudut. Dinding kargo ini terbilang cukup tinggi, walau sudah berdiri pun aku tetap tidak bisa melihat pengendaranya. Atap terbukanya membuat angin dingin menyelimuti tubuhku. Aku mengigil kedinginan. Kemudian menarik sebuah kain penutup dari atas sebuah keranjang kayu guna menjaga badan tetap hangat.

Sekali lagi aku mengamati diriku dengan seksama. Selain memastikan seluruh bagian tubuhku masih tetap utuh, aku mendapati busur pendekku patah. Mungkin tertindih olehku saat terjatuh. Begitu pula dengan beberapa anak panah yang ada, hingga tersisa beberapa buah saja yang dapat dihitung oleh jari.

Kudongakkan kepala ke atas. Entah aku sedang mengarah kemana, yang bisa kulakukan hanyalah menunggu hingga kargo ini berhenti. Aku tak bisa loncat begitu saja dari atas kargo yang sedang melaju dengan kencang. Atau tubuhku akan mengalami luka serius. Kujatuhkan pandanganku ke atas lantai kayu. Menenggelamkan diri ke dalam lautan memori. Terakhir kali kuingat, Dimas tengah mencoba mengejar kargo ini. Kira-kira apa yang ia lakukan sekarang? Apa dia masih mengejar kargo ini?

Tapi tampaknya mustahil. Hanya orang gila yang melakukan hal itu. Rasanya tidak mungkin dia mau menyusahkan dirinya sejauh itu. Dia itu tipe orang yang hidup dengan simpel. Teringat saat berburu beberapa waktu silam, pria itu mencoba memancing harimau hutan dengan umpan sisa makan malamnya. Berharap keberuntungan akan membawa harimau ke dalam perangkapnya. Sumpah, itu bego banget.

Memang seperti itulah dia. Selalu menggampangkan semuanya. Paling-paling saat ini dia kembali ke markas dan mengira aku akan pulang dengan sendirinya. Namun jauh di dalam hati, entah mengapa aku berharap sifat cemas berlebihan miliknyalah yang timbul saat ini.

Jujur, aku takut.

Aku ingin diselamatkan olehnya sekarang.

*************

Waktu kembali terlewat ketika aku jatuh tertidur. Kargo ini telah berhenti sempurna. Aku mengusap-usap kedua mataku, kemudian mengerjapkannya berulang kali. Kudongakkan kepala ke atas. Langit pagi sudah datang. Cahaya matahari dengan lembut menerpa wajahku. Membelai dengan kehangatan seperti sedang memberiku kekuatan.

Sesaat kemudian aku mendengar percakapan orang-orang di luar kargo.

"Hei! Jangan sampai jatuh, bodoh!"

"Maaf, Bos!"

Suara riuh orang banyak terdengar kencang. Begitu pula dengan bunyi langkah kaki, dentingan logam, serta barang-barang dari kargo lainnya yang sepertinya berada di sekitar sini. Membuat suasana hutan ini menjadi ramai.

"Cepat! Bongkar muatan kalian dan masukkan ke kereta kuda kaum Telinga Panjang itu, atau kita takkan dibayat!"

Perkataan dari salah seorang yang terdengar pemimpin mereka, membuatku berjengit. Elvian? Tunggu, tunggu, tunggu! Kalau tidak salah, Dimas bilang mereka ini kelompok dagang dari Sigrotia Iuna Utara. Apa mereka menyusup ke Kerajaan Lurivia untuk bertransaksi dengan kaum Elvian?

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang PenyihirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang