"Kau yakin?" tanya Shella dengan antusias.
"Sangat yakin," jawabku dengan percaya diri. "Kalian mungkin tidak bisa. Tapi mataku bisa melihat ada banyak orang yang berjalan di atas dahan dan beraktifitas di sana."
"Mereka membuat kota di atas pohon?" kini giliran Dimas yang tampak sangat bersemangat.
"Kau dapat melihatnya sendiri nanti."
Mendengar adanya sebuah kota dibangun di atas pohon, membuat mereka berdua menggelora. Itu adalah reaksi normal untuk orang-orang yang berasal dari dunia lain seperti kami. Bahkan saat pertama kali tiba di Kota Ruvia pun, aku sama antusiasnya dengan mereka. Melihat ke sekeliling dengan mata berbinar seperti orang kampung. Jika diingat-ingat, reaksiku malah lebih parah.
"Ayo kita segera turun!" seru Dimas yang langsung meninggalkanku, diikuti oleh Shella di belakangnya.
Ya ampun! Mereka berdua seperti anak kecil yang tidak sabaran menanti hadiah ulang tahun. Aku turut mengikuti keduanya di belakang, menyesuaikan langkah kaki dua orang itu yang bergerak cepat.
Tim kecil ini menuruni lereng gunung dengan cukup cepat. Tidak sampai satu jam kami sudah tiba di pertengahan kaki gunung yang medannya kini melandai. Setelah aku memperingatkan mereka agar tidak terlalu antusias dan selalu waspada, Dimas dan Shella lalu memperlambat laju mereka.
"Aku tahu kalian begitu kesenangan ingin segera sampai di sana. Tapi jangan lupa kalau kedatangan kita ke Kota Arnest bukan untuk bertamu. Mereka pastinya tidak akan mengizinkan manusia masuk ke wilayahnya," terangku pada mereka.
"Kau benar," balas Dimas, lalu ia terdiam selama beberapa saat. "Lebih baik kita melihat-lihat dahulu dari jauh dan menemukan cara untuk masuk ke dalam kota."
"Setuju."
Kami bertiga melanjutkan perjalanan dengan waspada, takut jika berpapasan dengan Elvian yang mungkin berada di sekitar gunung. Ini adalah wilayah mereka. Elvian mungkin sesekali keluar untuk mencari buah-buah atau melakukan hal lain di sekitar kota. Seperti yang biasa kulakukan saat berlatih dengan Almira di hutan dekat kota. Karena itu, kemungkinan bertemu dengan Elvian lain di gunung ini cukup besar.
Satu jam kemudian, kami sudah tiba di tepi hutan bonsai raksasa. Aku tidak tahu nama asli pepohonan ini, kukatakan saja seperti itu biar mudah.
Kota Arnest masih beberapa kilometer jauhnya di depan. Kini giliran aku yang berjalan paling depan. Sembari mengaktifkan Indera Superku guna mewaspadai siapa pun yang datang kemari.
Kami bergerak cukup pelan. Melewati daratan yang banyak akar-akar raksasa melintang bukanlah perkara mudah. Akar-akar ini terbilang tinggi, mungkin setinggi orang dewasa. Untuk melewati satu akar saja, kami harus memanjatnya seperti hendak masuk ke pekarangan tetangga dengan melompati pagar.
Itu baru satu. Sementara di sini ada ratusan akar raksasa yang melintang tak beraturan dan membentuk seperti labirin. Terkadang aku memilih akar yang rendah untuk dilalui, meski harus memutar sedikit lebih jauh. Tapi jika yang melintang adalah akar yang ujungnya tak tahu di mana, mau tak mau kami harus melompati akar raksasa ini. Ditambah dengan tas bawaan kami yang besar. Hal ini sama melelahkannya dengan mendaki gunung kemarin.
Sudah satu jam berlalu, kami belum mendapatkan kemajuan yang besar. Saat ini kami beristirahat sejenak guna melepas lelah dan makan roti kering Glafelden untuk mengisi perut. Tentu saja kami tak memasak untuk makan siang, karena khawatir dapat mengundang Elvian dengan aromanya yang kuat.
"Roti kering ini adalah yang stok terakhir. Setelah ini, kita harus mencari sendiri makanan kita," jelas gadis bersurai sepunggung, nadanya terdengar berat dan tampak khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir
FantasyPada awalnya, aku hanya mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo yang diadakan di awal tahun ajaran baru. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun...