Chapter 06: Langkah Baru

120 25 7
                                    

Tanpa ba-bi-bu lagi, aku segera meloncati pagar. Celanaku sempat tersangkut dan membuatku terjatuh. Bahkan tudung yang kukenakan pun terlepas. Tidak mempedulikan itu, aku segera bangkit. Melewati halaman rumput luas tepat di samping bangunan. Hanya ada sebuah lentera redup di tempat ini. Sinarnya tidak cukup terang. Jadi kupikir apa pun yang berada di ujung sana, mengeluarkan cahaya sendiri. Tidak memantulkan kilap lentera taman.

Nyaris sama persis dengan kejadian satu tahun lalu. Saat berada di sungai, tiba-tiba saja sebuah benda aneh memaksaku memungutnya karena termakan cahaya yang menyilaukan. Kalau saja ini adalah benda yang sama dengan waktu itu. Mungkinkah aku dapat kembali ke dunia asalku?

Namun, harapanku menguap seketika. Cahaya itu terbang begitu aku mendekatinya. Ke sana dan kemari bagai daun gugur yang ditiup angin. Terbang mendekati wajah dan hinggap di hidungku.

"Kumbang?"

Entah apa namanya. Aku baru pertama kali melihat serangga jenis ini. Kumbang itu mirip sekali dengan kunang-kunang. Hanya saja ukurannya sebesar jempol orang dewasa. Beberapa saat bertengger, binatang itu lantas pergi begitu saja. Aku merasa kecewa. Merasa paling bodoh sendiri. Atau merasa naif berpikir kejadian yang sama persis akan terulang dua kali, dan mengembalikan semuanya ke awal.

"Hoi, bodoh! Sedang apa kau di sana? Bukankah sudah kusuruh untuk kemari?" teriak Dimas, sosoknya mendadak muncul di ujung koridor.

"Iya, iya. Aku segera ke sana," sahutku sebal. Padahal, dia bisa saja berucap dengan baik. Tak perlu sampai berteriak-teriak seperti monyet hutan.

"Dan mengapa tudungmu sampai lepas, bodoh? Pakai lagi sebelum ada yang melihatmu!"

"Iyaa."

Tak ingin dimaki lagi olehnya, aku segera beranjak dari tempat itu. Mengambil tudungku yang terjatuh di atas semak, dan mengenakannya kembali. Meninggalkan rasa penasaran dan harapan jauh-jauh. Mengikuti langkah Dimas menyusuri lorong, aku dituntun ke sebuah pintu ganda yang besar. Ini adalah pertama kalinya aku memasuki bangunan ini. Karena biasanya setiap bermain ke sini, aku hanya sampai di toko obat dan halaman depan saja.

Ruangan ini sangat luas. Cukup untuk memuat dua buah meja panjang yang disejajarkan. Lampu kristal tergantung kokoh di langit-langit. Dalam ruangan ini hanya ada sedikit perabotan atau hiasan lainnya. Cukup simpel dan sederhana. Terlalu banyak tempat kosong di sini.

Namun, hal yang membuat ruangan ini hidup ialah keberadaan anak-anak kecil yang berisik ketika menunggu waktu makan malam tiba. Anak-anak berusia 3-12 tahun yang sedang duduk di kursi ini adalah penghuni panti asuhan ini.

Ya, kau benar. Selain dijadikan klinik dan toko obat, Bibi Saantya juga mengasuh belasan anak kecil yang tidak punya tempat tinggal di sini. Ia terkadang membawa pulang anak gembel, yang sengaja ditinggalkan oleh orang tuanya, atau korban praktik perbudakan. Sifatnya yang peduli pada sesama dan saling mengasihi membuat semua orang di kota menyebutnya dengan 'Orang Suci'.

Mataku menyapu ke arah anak-anak. Kuperhatikan, rentang usia mereka antara empat sampai sepuluh tahun. Mereka berteriak, bergurau dengan temannya, atau memainkan peralatan makan di atas meja. Membuat suara gaduh yang memekakkan telinga. Beberapa pengasuh mencoba membuat mereka tetap diam. Tapi namanya juga masih bocah, tetap saja dilakukan walau dilarang. Saat melintasi ruangan, beberapa anak melihatku. Tertawa. Entah apa yang lucu. Menyaksikan wajah anak-anak itu yang tertawa lepas tanpa beban melegakan hati ini. Membuatku tanpa sadar turut tertawa dan melambaikan tangan.

Dimas membawaku ke salah satu ujung meja panjang. Tempat di mana orang-orang dewasa duduk dan menunggu makan malam. Yang kuyakini adalah para pengasuh panti asuhan dan apoteker. Sebagian kursi di antaranya kosong. Mungkin mereka sedang membantu menyiapkan makanan atau menenangkan anak-anak yang berisik itu. Dimas menarik sebuah kursi dan menyilakanku. Aku berjengit. Menatap aneh padanya. Sejak kapan ia begitu peduli padaku? Namun karena suasana sedang bagus, aku tak begitu mempedulikannya.

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang PenyihirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang