Chapter 56: Penyesalan Dimas

7 5 7
                                    


Dahulu, senyumnya adalah matahari pagiku. Cahayanya mampu menerangi hari-hariku yang kelabu. Seri wajah cerianya kini hanya bayangan samar dalam ingatan, terbenam jauh ke dasar jurang tanpa dasar. Setiap kali gadis itu bertemu hari, hanya raut sendu yang mampu ia tawarkan. Melihatnya seperti itu membuat hati ini sakit. Akulah yang menjatuhkan nelangsa pada gadis itu.

Meski sudah berusaha selalu menemaninya kala jeda istirahat, jam kosong, atau sepulang sekolah, tetap saja sesekali perundungan terjadi pada Anggi. Entah usaha apa pun yang kulakukan hasilnya tetap selalu sama. Perlahan-lahan senyum hangat yang senantiasa kuingat dalam ingatan, memudar bak tinta di atas selembar perkamen yang terlupakan oleh waktu.

Barulah pada tahun ketiga aku bisa sekelas lagi dengannya, yang membuatku bisa untuk tetap selalu berada di sisinya. Meski pada akhirnya Anggi nyaris tak bisa mendapatkan teman sama sekali karena selalu bersanding denganku.

Aku pikir itu lebih baik, dari pada melihat gadis-gadis lain menjahilinya lagi. Biarkanlah aku seorang yang menjadi teman bicaranya. Hal itu mengakibatkanku turut menarik jarak menjauhi murid lainnya.

Setelah kami menginjak bangku sekolah menengah atas, hal-hal yang kukhawatirkan tidak pernah terjadi. Mungkin karena para murid di sini bisa sedikit lebih dewasa dan bersikap seharusnya. Suasana di sekolah pun tampak kondusif dengan aura positif.

Anggi menemukan kembali senyum cerianya yang lama hilang. Gadis itu mulai bergaul dengan teman-teman wanitanya yang lain. Tak lagi terus menempel padaku seperti perangko, gadis itu dapat mencari sendiri kebahagiaannya. Meski ada sedikit rasa kesepian di dalam hatiku.

"Sungguh, jika berias sedikit, kau akan tampak sangat cantik," pujiku dengan pelan sembari menyibakkan rambut poninya ke samping. "Aku mungkin akan tergila-gila padamu, Anggi!"

Saat aku mengucapkan itu, wajah Anggi membeku. Aku sadar telah mengucapkan sesuatu yang harusnya tidak kuucapkan.

"A-A-Apa sih, y-yang kau katakan. J-Jangan coba-coba menggodaku, Dimas! Kau sudah tahu kan kalau aku tidak suka digoda."

"Haha ... aku bercanda, jangan marah!"

Setiap kali aku tak sengaja memujinya, Anggi akan menganggapku bercanda, dan aku selalu tertawa setelahnya. Ya, inilah hal rutin yang akan kau temukan jika mengikuti percakapan kami sehari-hari.

Aku selalu menggambar garis batas di antara hubunganku dan Anggi. Meski menginginkan hubungan yang lebih jauh, aku terpaksa harus berpuas diri dengan keadaanku saat ini. Aku takut jika aku mengungkapkan perasaanku padanya, hanya membuat ia semakin menjauh dariku.

Karena kutahu pasti, yang ia butuhkan saat ini bukanlah hubungan cinta antara wanita dan lelaki, namun memiliki seseorang untuk menguatkannya. Berharap trauma masa lalunya menghilang perlahan dan membuat emosinya menjadi stabil.

Saat aku berpikir, hubungan kami akan terus begitu selanjutnya, kejadian ajaib tidak masuk akal itu terjadi. Ketika kami berdua bersama beberapa teman klub eksul diseret masuk ke dunia antah berantah.

Yang paling mengejutkan, orang yang paling kupedulikan, telah berubah wujudnya menjadi seseorang yang tak bisa kukenali lagi.

Tidak ada lagi bola mata hitam legam yang bersembunyi di balik kelopak tipisnya. Tidak ada lagi bibir tipis yang senantiasa mengumbar senyum secerah matahari pagi. Tidak ada pula suara khas miliknya yang telah menjadi candu di telingaku selama bertahun-tahun.

Ya, Anggi telah berubah total dari apa yang kuingat sebelumnya, sampai titik di mana aku sudah bisa menganggapnya orang yang berbeda.

Aku sangat marah padanya. Beraninya dia meniru orang yang sangat kukasihi dan menipuku.

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang PenyihirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang