Hujan deras mengguyur kota Glafelden tanpa ampun. Batu-batu jalanan basah mengkilap memantulkan cahaya remang-remang dari lentera-lentera yang bergoyang di tiang-tiang kayu. Belum ada jalan beraspal di kota ini, jadi semua jalanan berubah menjadi lumpur dan becek. Hanya di tempat-tempat tertentu seperti pusat kota saja yang jalannya sudah berbatu. Angin dingin menerobos celah-celah pakaian, membuat para penduduk meringkuk kedinginan.
Di sepanjang jalan utama, kereta-kereta kuda berderap pelan, roda-rodanya menggenangi genangan air. Kuda-kuda itu bernapas dengan berat, uap napas mereka mengepul di udara dingin. Para kusir bungkuk berusaha melindungi diri dari hujan dengan mantel tebal, sementara penumpang di dalam kereta berusaha mencari kehangatan di balik tirai beludru.
Di bawah atap-atap toko dan penginapan, kerumunan orang berdesakan mencari perlindungan. Para pedagang kaki lima berusaha menyelamatkan dagangan mereka dari hujan dengan tergesa-gesa, sementara anak-anak bermain dengan riang di genangan air. Seorang pengemis tua duduk meringkuk di sudut dinding, tubuhnya gemetar kedinginan. Mangkuk kosong di depannya tak berisi satu koin pun. Matanya menatap kosong ke arah hujan yang tak kunjung reda, seakan berharap keajaiban akan datang dan menghentikan penderitaannya.
Hujan mengguyur seluruh sudut kota termasuk markas Kelam Malam. Di wilayah yang nyaris tanpa hukum ini, sebagian penduduk lebih memilih berada di dalam rumahnya yang hangat, ketimbang menahan udara dingin di jalanan. Memang ada beberapa orang yang berlalu-lalang di luar sana, tapi dapat dihitung dengan jari. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan di sini kecuali tidur dan melewati hari dengan mimpi indah. Kecuali kriminal seperti perampok dan pemburu yang memang bekerja ketika malam datang.
Aku dan Dimas adalah salah satu dari sedikit para kriminal itu. Kami pergi keluar gerbang kota menuju hutan, tapi bukan untuk berburu. Melainkan untuk kabur sesegera mungkin dari Glafelden.
Ada sepasukan berkuda elit yang mengejarku kemari. Entah apa yang mereka inginkan, yang pasti itu bukanlah niat yang baik. Bila seseorang dari ibukota ingin bertemu denganku secara baik-baik, mereka seharusnya datang dengan kereta kuda dan menyapaku ramah, bukan mengirimkan satu pasukan terlatih ke padaku.
Menurut surat merpati yang dikirim oleh Kak Indra, mereka sudah berangkat sejak empat hari yang lalu. Jarak antara Glafelden dan Lurich sekitar 1.200 km, butuh lebih dari seminggu untuk menempuhnya. Yang artinya dalam beberapa hari lagi mereka akan sampai di kota ini. Karena itulah aku harus pergi sekarang juga untuk menciptakan jarak di antara kami. Grussel mengkhawatirkan perjanjian di antara kedua negara takkan membuat satu pasukan elit berhenti mengejarku.
Siapa tahu mereka akan masuk dan menyusup diam-diam ke wilayah Elvian demi menangkapku?
Erik yang berada di dalam pasukan itu tak memberi tahu kami tentang kekuatan mereka yang seutuhnya. Entah karena tidak sempat atau dia dilarang membocorkan rahasia kemiliteran kepada siapa pun. Jadinya aku sama sekali buta terhadap musuhku.
Tujuan kami adalah Kota Arnest yang berada di sebelah barat Pegunungan Lintang Utara, di sanalah kristal roh pertama berada. Entah apakah yang kujalani ini benar atau tidak, yang jelas kami tidak punya pilihan lain.
"Anggi, ayo!" seru Dimas yang membuyarkan lamunanku.
Untuk pergi ke wilayah Elvian, kami harus menyeberangi Sungai Kelan yang lebar dan dalam. Kami harus berjalan ke arah utara sekitar satu jam guna menemukan bagian sungai yang arusnya cukup tenang untuk dilewati. Di tempat inilah biasanya kelompok pemburu Kelam Malam mulai beraksi.
Dimas menarik sebuah rakit kecil yang disembunyikan dekat akar pohon raksasa. Dengan benda inilah, aku dan rekan-rekanku menyeberangi sungai dan menyusup ke wilayah Elvian.
Dimas telah naik dahulu ke atas rakit di tepi sungai, mengulurkan tangannya untuk membantuku naik. Aku bergeming. Sejenak meratapi pria itu dengan ragu-ragu. Merasa tidak percaya bila menyambut uluran tangannya berarti memulai perjalanan kristal roh yang penuh bahaya. Aku menghembuskan napas panjang. Keputusan ini sudah kubuat sebelumnya dan tidak mungkin diubah, sehingga tanganku secara tidak sadar menerima uluran tangan Dimas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir
FantasiaPada awalnya, aku hanya mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo yang diadakan di awal tahun ajaran baru. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun...