Di dalam kedai remang-remang, aroma asap dan kayu bakar tercium bercampur dengan bau harum masakan yang menggoda. Cahaya lilin menerangi wajah-wajah para pelanggan yang duduk di meja kayu kasar, tertawa dan bercanda gurau dengan suara lantang. Di sudut ruangan, seorang musisi memainkan kecapi, melodinya yang ceria mengisi udara.
Seorang pelayan wanita berpakaian sederhana mengantarkan piring-piring berisi hidangan lezat: roti hangat, daging panggang yang harum, dan semur sayuran berwarna-warni. Para pelanggan menyantap makanan mereka dengan lahap, menikmati rasa yang kaya dan tekstur yang kasar. Di antara gigitan, mereka bertukar cerita tentang hari mereka, berbagi kabar terbaru dari desa atau kota.
Suasana di kedai terasa hangat dan ramah, penuh dengan keakraban dan kebahagiaan. Orang-orang dari berbagai latar belakang sosial bersatu di sini, menikmati makanan dan kebersamaan. Di luar kedai, malam telah tiba, dan langit dihiasi dengan bintang-bintang yang berkilauan. Kedai ini bagaikan oasis kecil di tengah hidup yang keras, tempat di mana orang-orang dapat melupakan masalah mereka sejenak dan menikmati momen kebersamaan yang indah.
Suasana di kedai makanan ini semakin ramai setiap menitnya. Dari daun pintu ganda yang terbuka lebar, lebih sering orang yang datang daripada keluar. Membuat kedai ini tambah padat. Suara hingar bingar pecah tak karuan. Membuat pertemuan kami tidak kondusif. Sepertinya pilihan tempat dan waktu kami salah.
Saat ini aku bersama Dimas, Shella, Vian, dan Vani tengah mengadakan sebuah rapat. Hanya segini saja yang hadir. Karena cuma kami yang masih tinggal di kota Glafelden. Sisanya yang kebanyakan laki-laki, mendaftar menjadi tentara kerajaan di ibukota negeri. Atau menjadi asisten saudagar keliling.
Kami baru saja selesai makan. Menyisakan piring-piring kotor di atas meja panjang. Aku mengumpulkan mereka di sini untuk menyampaikan informasi yang baru saja didapatkan beberapa hari lalu. Tentang Kristal Roh. Aku juga menyebutkan dua solusi yang diberikan oleh Almira, dan meminta pendapat mereka.
"Itu sangat berbahaya, Anggi! Menyusup ke ibukota Kerajaan Elvian Barat adalah hal gila yang tidak pernah dipikirkan siapa pun, termasuk Grussel. Siapa tahu kita akan langsung ditangkap begitu sampai di kota mereka." Dimas adalah orang pertama yang memprotesnya dalam hitungan sepersekian detik. Tanpa pikir panjang.
"Bukan kita. Tapi aku," tegasku. Suaraku nyaris tertelan keriuhan di kedai ini, namun yakin bila mereka masih bisa mendengarnya.
"Aku tambah tidak setuju dengan hal itu. Memangnya apa yang bisa dilakukan pemburu bodoh sepertimu? Aku yakin kau akan tergoda kelinci putih itu lagi dan membuat kacau."
"Tidak mungkinlah. Tidak ada orang yang mengulangi kesalahan kecuali orang tolol."
"Orang tolol itu kau!" pekik Dimas.
Jika saja hanya ada kami berdua, aku pasti sudah menghajar si sialan ini. Tapi sengaja kutahan. Aku tidak mau memulai perkelahian di depan publik. Apalagi dengan teman sendiri, itu tindakan tolol. Persis seperti yang Dimas katakan.
"Sudahlah, Anggi, Dimas! Jangan ribut seperti itu!" Shella berusaha menengahi. Kemudian melemparkan pandangan padaku. Ia menatapku dalam diam untuk sesaat. "Aku juga tak setuju denganmu, Anggi. Jalan keluar yang terlalu berisiko bukanlah solusi."
"Kesempatan seperti ini takkan datang dua kali. Mungkin Elvian bisa saja membuka perbatasan dan menerima manusia dengan tangan terbuka. Tapi kapan? Bisa puluhan atau ratusan tahun lagi. Atau mungkin tidak akan terjadi sampai dunia ini hancur. Apa kau tak mau pulang?"
Shella mendadak terdiam. Mendengar kalimat terakhir sepertinya membuat lidahnya kelu. Membisu seribu bahasa lalu mengatupkan kelopak mata, berpura-pura tidak mau tahu. Aku menoleh ke arah si kembar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir
FantasyPada awalnya, aku hanya mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo yang diadakan di awal tahun ajaran baru. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun...