Hujan membasahi puncak-puncak gunung, deras dan tanpa ampun. Kabut mulai merayap turun, perlahan menyelimuti lereng gunung tempatku berlindung. Udara dingin menusuk tulang, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk. Pohon-pohon pinus bergoyang kencang, seakan tak ingin larut ke dalam badai ini. Beruntung aku dan Dimas sempat membuat tenda dari kulit hewan tepat sebelum hujan turun, jadi tak perlu takut air akan membasahi tubuhku.
Tenda darurat ini tak terlalu besar, hanya cukup menaungi tiga orang beserta barang bawaan saja. Karena ruang sempit ini Aku, Dimas, dan Shella mengatur penempatan tas kami di tengah tenda agar tidak basah. Hal itu yang membuatku harus berdamai dengan percikan air hujan yang jatuh ke atas tanah.
Angin bertiup semilir menggelitik tengkukku, menciptakan hawa dingin yang menyelimuti tubuh ini. Mengetahui perjalanan kami akan mendaki gunung, aku sudah mempersiapkan diri dengan membawa jaket dari Kota Glafelden. Meski sudah kukenakan, tetap tidak bisa melawan hawa dingin yang membeku. Wajar saja, jaket murah seharga dua puluh keping perunggu ini berbahan tipis. Mungkin tak ada ubahnya dengan pakaian biasa.
Untuk sesaat, aku menyesali keputusan saat memilih jaket ini. Aku tergoda dengan modelnya yang begitu keren. Padahal, seharusnya aku bisa mendapatkan jaket tebal dengan harga yang sama. Lihat saja Dimas! Lelaki itu tampak tak merasa kedinginan sama sekali dengan jaket tebalnya. Kami berbelanja bersama tepat sebelum pergi berpetualang. Jika saja waktu itu aku mendengarkan sarannya, mungkin aku takkan kedinginan seperti ini.
"Ada apa lihat-lihat?" tanya Dimas yang menyadari tatapanku.
"Aku kedinginan, mau bertukar jaket?"
"Enak saja! Salahmu sendiri yang memilih jaket tipis seperti itu!" Dimas langsung mendengus di depan hidungku. "Memangnya kau pikir kita akan berwisata? Kalau mau kau gunakan saja magimu untuk menghangatkan badan!"
"Kalau bisa sudah kulakukan dari tadi, Bodoh!"
Dimas menghiraukan perkataanku, ia memalingkan wajahnya ke luar tenda walau sebenarnya tidak ada yang bisa dilihat di luar sana. Sementara aku menjatuhkan pandangan ke lentera minyak yang berada di tengah tenda. Memberikan sedikit cahaya di tengah pekatnya kegelapan di sekitar. Aku hanya bisa berharap sumber cahaya ini tak mengundang binatang buas apa pun kemari.
Aku meringkuk di bawah tenda sambil bersedekap, Shella yang merasa iba padaku memberi sepotong kain miliknya. Dibandingkan sebuah kain, ini lebih mirip dengan selimut tipis. Lebih tebal dari kain namun lebih tipis dari selimut. Dibalut dengan benda ini benar-benar mengurangi hawa dingin dari luar. Akhirnya aku bisa merasakan kehangatan pada badanku.
Untuk makan malam, kami menyiapkan bahan-bahan yang dikumpulkan saat matahari masih bersinar. Ketika melewati jalan setapak yang ditumbuhi jamur di kedua sisinya, tentu kami takkan mau melewatkannya saja. Setelah memilah-milah, kami membawa banyak jamur yang aman untuk dikonsumsi.
Kami memasak menggunakan semacam briket arang yang kubeli di Glafelden. Untung saja di dunia ini sudah ditemukan briket dan pemantik api. Jika tidak, mungkin saat ini kami harus mencari kayu bakar dan mencoba membuat api dengan menggesek-gesekkan dua buah batang kayu. Hal itu akan lebih merepotkan dan sangat tidak efisien. Aku sangat berharap para penemu dan orang-orang cerdas di dunia ini dapat menciptakan sesuatu yang dapat mengejar ketinggalan peradaban dari duniaku sebelumnya. Mungkin saja dalam beberapa tahun ke depan aku bisa menikmati makan siang sambil menonton video di internet, atau memesan makan malam dengan aplikasi di telepon genggam. Untuk sesaat, aku rindu dengan kehidupan modern duniaku yang lama.
Dimas membuat kompor dari tumpukan batu kecil yang membentuk segi empat. Setelah pria itu menaruh beberapa potong briket di tengah batu dan menyalakannya, ia meletakkan sebuah kuali logam berukuran kecil di atas batu. Meskipun ini bukanlah perjalanan piknik, aku tetap menginginkan kebutuhan esensial seperti makan tetap terpenuhi. Jadi aku membeli sebuah kuali kecil yang bisa dibawa dalam tas. Dengan begini, kami bisa memasak apa pun tanpa harus menyantapnya mentah-mentah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir
FantasiaPada awalnya, aku hanya mengikuti pelantikan anggota baru Klub Taekwondo yang diadakan di awal tahun ajaran baru. Namun entah apa yang terjadi. Tiba-tiba saja benda misterius yang menyeretku dan teman-temanku ke sebuah hutan antah berantah. Aku pun...