Chapter 12: Petunjuk Penuh Keraguan

78 18 0
                                    

Kupaksa kepalaku berpikir dengan keras, berusaha memahami isi buku itu sekali lagi. Namun tetap sama. Buku ini mengatakan bila Kristal Roh Harapan adalah sebuah pin dengan ukiran bintang segi delapan. Tidak salah lagi. Benda misterius bercahaya itu yang membawaku ke dunia ini.

Kristal Roh Harapan, Nadjieza. Mampu mengabulkan harapan apa pun jadi kenyataan. Ini aneh. Jika benda yang kupungut adalah kristal roh asli, apa yang membuatnya melemparku dan rekan-rekanku kemari? Aku sama sekali tidak ingat pernah berharap berpetualang di dunia lain dan menjadi manusia campuran. Lagi pula, bukankah benda itu milik sang Dewi Harapan? Mengapa bisa berada di duniaku?

Ya ampun! Aku benar-benar tidak bisa mengaitkan semua kepingan fakta ini menjadi satu. Tubuhku lemas seketika. Membungkuk sambil memeluk buku itu dengan kedua tangan, serta memejamkan mata rapat-rapat. Tiba-tiba, sebersit pikiran melintas. Muncul begitu saja di dalam kepala. Ada seseorang yang sepertinya tahu tentang ini.

"Almira!" seruku. "Ya. Dia itu kan, berasal dari bangsa Elvian yang berumur panjang. Mungkin dia tahu satu atau dua hal tentang ini."

Saat itu juga aku segera bergegas menuruni tangga. Kupegang erat buku ini agar tak jatuh. Aku ingin menunjukkannya pada wanita itu. Ketika tiba di depan meja resepsionis, perempuan yang tadi pagi kusapa, berdiri dari kursinya dan menghentikanku.

"Anggi! Harusnya kau tahu kalau meminjam buku itu ada prosedurnya!"

"Maaf, aku terburu-buru! Nanti akan kukembalikan setelah selesai!"

"Hei!"

Tak memedulikan peringatannya, aku langsung berlari keluar bangunan. Langit mulai berubah menjadi jingga kemerahan saat.aku membaur dengan keramaian di jalanan kota. Kulangkahkan kaki di atas jalanan batu bata yang tersusun rapi. Angin sepoi-sepoi membawa aroma roti segar dan kayu bakar dari perapian rumah-rumah penduduk. Di kejauhan, lonceng di plaza kota berdentang, menandakan waktu senja telah tiba.

Aku menyelimuti diriku erat-erat dengan kedua tangan, karena pakaian ini tak mampu menahan hawa dingin yang mulai merasuk. Mataku terpaku pada keramaian di sekitar. Para pedagang menjajakan dagangan mereka di lapak-lapak kecil, sementara anak-anak berlarian dengan riang di antara kerumunan. Aroma rempah-rempah dan buah-buahan segar memenuhi udara, membuatku merasa lapar.

Aku berhenti sejenak di depan toko roti yang paling terkenal di kota ini, tergoda oleh aroma roti panggang yang baru keluar dari oven. Dengan ragu-ragu, kukeluarkan beberapa koin dari kantung dan mencoba menghitung seluruhnya. Uangku tinggal satu perak dan dua perunggu. Jika aku memaksa untuk membeli roti yang harganya dua puluh perunggu, dipastikan aku akan bangkrut minggu ini. Jadi segera kubuang jauh-jauh godaan itu dan mengesampingkan rasa laparku untuk saat ini.

Aku kembali melanjutkan perjalananku yang sempat terhenti. Berkali-kali aku harus bertubrukan dengan orang lain di trotoar. Sekarang sudah masuk jam sibuk. Orang-orang sudah selesai dengan urusan mereka seperti bekerja atau bersekolah. Membuat jalan-jalan tampak ramai oleh mereka berlalu-lalang untuk kembali ke rumah. Dari sini, aku harus menempuh jarak tiga blok ke rumah Almira. Itu sama saja dengan lima kilometer.

Sebenarnya aku bisa saja menyewa kereta kuda, tetapi biayanya sangat mahal. Sekitar sepuluh hingga lima belas keping perunggu untuk sekali perjalanan di dalam kota. Lagi pula sebagai pemburu, jalan kaki sudah menjadi makananku sehari-hari. Jadi kurasa tak perlu sampai menyewa kereta kuda.

Aku terus berlari menembus kerumunan orang. Kemudian berbelok menuju gang-gang kecil untuk memotong jarak. Hingga lima belas menit kemudian, aku tiba di depan pintu rumah Almira. Kuketuk perlahan dan menunggu beberapa saat. Namun sang tuan rumah tak kunjung muncul. Kuketuk lagi sedikit lebih keras dan meneriakkan namanya.

Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang PenyihirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang