34. PATAH (BAGIAN 2)

15 2 1
                                    

Sinar matahari menusuk menembus kelopak mata yang tertutup pasir dan daun kering. Richy terbaring tak berdaya di lantai hutan dengan kondisi yang mengenaskan.

Gumpalan darah yang mengering di sisi kepalanya menjadi saksi berapa lama dia tidak sadarkan diri. Bahkan tubuhnya sudah tertutup beberapa daun yang berjatuhan dari atap hutan.

Mulutnya kering, bahkan dia tidak mampu menelan ludahnya sendiri. Bibirnya pecah bahkan saat dia menggerakkannya untuk menggeram demi mencoba untuk bangkit dan duduk.

Namun, kepalanya terasa ringan.

Kepalanya terasa ringan, dan hal  itu sangat aneh.

Dengan segenap tenaga dia meraih sisi kepalanya dan menemukan segumpal benda keras yang lengket dan berbau seperti pagar besi yang berkarat.

Tempat dimana ada tanduk panjang berdiri di situ, hanya tersisa gundukan keras di sana.

Tanduknya sudah patah. Dan dia masih hidup.

Richy menangis. Richy menangis akan harapan untuk melihat keluarganya lagi. Dia menangis akan pengharapan untuk pulang dan melihat Evan, Ilunga, Ely, dan Arca lagi.

Namun rasa senang itu tak bertahan lama. Sakit yang teramat sangat menusuk-nusuk kepalanya sampai menggetarkan seluruh tubuh Richy. Tanduk yang patah dengan sengaja menghasilkan rasa sakit yang jauh lebih parah daripada tanduk yang patah akibat perkelahian.

Namun, Richy harus bertahan. Karena dia harus pulang. Dia akan pulang.

Dengan segenap tenaga yang tersisa, Richy menggenggam tangannya hingga buku-buku jarinya memutih demi mencoba bangkit. Namun itu pun masih kurang. Dia tidak punya energi sama sekali.

Kemudian diliriknya semak belukar tak jauh dari tempatnya berbaring. Sekumpulan kantung semar tumbuh subur di sana.

Dengan segenap kekuatan, Richy merangkak perlahan dengan tangannya yang gemetar. Sampai akhirnya cukup dekat untuk meraih salah satu kantung semar kecil yang paling dekat dan mengarahkannya ke mulutnya.

Air dari kantung semar itu sangat sedikit. Mungkin dia sudah terlalu lama terbaring tidak sadarkan diri sehingga sisa air hujan yang masuk ke kantung semar itu pun sudah sudah habis menguap.

Dia mencoba kantung semar yang lain. Kali ini kantung semar yang lebih besar dan mengandung banyak air.

Saat air dari kantung semar itu menyentuh tenggorokannya, Richy merasa seperti hembusan musim dingin menyentuh jiwanya. Sungguh suatu kenikmatan yang tidak terlawan. Bagai angin pegunungan yang berhembus pelan menggetarkan semak-semak kering di hatinya yang bagaikan gurun.

Dengan perlahan, Richy meraih semua kantung semar yang ada dan mengarahkannya ke mulutnya. Sampai kantung semar terakhir meneteskan airnya ke mulut Richy, Dia kembali terbaring lemah menunggu tubuhnya merespon dahaganya yang mulai hilang.

Lebih dari 10 menit Richy terbaring di lantai hutan demi mengumpulkan energinya lagi untuk bangkit dan kembali ke gubuknya. Sampai akhirnya dia cukup kuat untuk bangkit dan bersandar pada pohon di sebelahnya. Dilihatnya sekeliling hutan dengan seksama. Namun matanya berhenti pada satu titik.

Benda panjang spiral yang masih tersangkut pada batang pohon bercabang itu masih di sana. Tidak bergerak sedikitpun dari saat dia lepas dari tubuhnya.

Richy maju perlahan, melangkah kecil menuju pohon itu dan meraih tanduknya.

Masih sulit dicabut. Tapi karena sudah tidak tertempel pada kepalanya, mudah untuk mendorongnya ke atas dan melepaskannya dari batang pohon itu.

Dia menimbang-nimbang tanduk itu di tangannya dan melihat lagi ke sekeliling. Kemudian melihat keranjangnya yang berisi bahan makanan.

Dia berjalan kembali ke arah keranjang itu dan memungutnya. Isinya kosong. Mungkin ada tupai atau binatang lain yang mengambilnya. Tidak masalah, dia akan mencari makanan di jalan menuju gubuknya. 

.....

Jalan menuju rumahnya tidak berubah menjadi mudah. Namun, langkahnya terasa seolah-olah tak berpijak. Rasanya semua gravitasi di bumi menghilang saat dia meletakkan kakinya di lantai hutan yang empuk dan kasar. 

Jiwanya, napasnya, dan beban yang selama ini bergelantungan dikepalanya terasa musnah. dia seperti berjalan di atas awan. Sudut bibirnya meruncing perlahan dan berakhir dengan senyuman. Akhirnya, Richy tersenyum untuk pertama kali sejauh yang diingatnya. Dia tersenyum, lebar sekali sampai semua gigi-giginya yang rapi dan besar terlihat.

"Haaaaahhhh" erangnya pelan dengan perasaan yang ringan. Merentangkan tangan selebar-lebarnya dan menyatukan diri dengan heningan hutan. Sudah lama Richy tidak merasa emosional. Sudah lama dia tidak sebahagia ini.

Senyum itu berubah menjadi tawa, lebar sekali.

Hutan berbau harum seperti kasturi, cahaya matahari hangat seperti adonan roti yang baru difermentasi dengan ragi. Bahkan suara ringkikan batang pohon-pohon tua yang keropos bagaikan biola yang menenangkan hati.

Semesta ikut bahagia bersamanya.

Tapi tak lama, arus emosi berbelok dengan cepat.

Belum selesai suara tertawanya, air matanya menetes deras bagaikan air terjun Staubbach. Dari tawa bahagia, berubah menjadi erangan lara. Dada yang terbusung penuh akan tawa, kini meringkuk kering terduduk di lantai hutan.

Betapa menderitanya dirinya selama ini. Betapa tanduknya merenggut kehidupannya, tak memberi sisa sama sekali.

Bau harum hutan berubah menjadi bau batang busuk berjamur, cahaya matahari tertutup awan hitam mendung, seperti jiwanya. Suara gesekan batang pohon-pohon tua terasa bagaikan tawa semesta yang meledek kemalangannya. 

Inilah alasan Richy mematikan saklar emosi jiwanya sejak tanduk sialan itu tumbuh di kepalanya.

Dia takut berbelok tajam mengikuti arus emosi dan membawanya terjun ke jurang depresi.

Tapi, Richy lega, kini arus emosi itu mengalir deras terjun ke jurang, namun dia tetap diam dan bertahan. Meski dinginnya sungai kehampaan dalam hatinya membuatnya menggigil ketakutan. Tapi Richy harus bertahan. 

Demi keluarganya, demi teman-temannya, dan demi dirinya sendiri. 

Richy akan bertahan. Richy akan pulang.


~Short chapter ya guys, semoga Richy baik-baik aja.


THE SLEEPING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang