18. KUTUKAN RICHY

33 6 6
                                    


Richy terbangun dengan keringat yang membasahi seprai tempat tidurnya. Padahal udara sangat dingin dan hari sudah sangat gelap. Diliriknya jam yang terletak di meja nakas di samping ranjangnya dan waktu menujukkan pukul 3 pagi. Dia tidur hampir dua belas jam. Bahkan dia melewatkan makan malam.

Kepalanya terasa sangat berat dan sakit. Rambutnya yang panjang sangat kusut. Richy bangkit sambil memegang kepalanya yang pusing. Sambil menyisir rambut dengan tangannya mencoba merapikan rambutnya yang kusut agar terasa lebih baik.

Namun tangannya menyentuh sesuatu. Keras dan kasar di puncak kepala bagian kanannya. Benda itu seperti menempel disana. Benda kecil berbentuk kerucut dan spiral seperti cangkang siput.

Benda apa ini, pikirnya. Kenapa ini menempel dikepalanya dan tidak bisa terlepas. Tiba-tiba kepalanya terasa berdenyut. Richy refleks memegang kepalanya dengan dua tangan mencoba menekan rasa sakit itu.

"Aaagghhrrr" rasa sakit itu tak kunjung memudar.

Disela-sela perjuangannya menahan rasa sakit itu, Dia menyadari sesuatu. Perasaan ngeri membuatnya pucat pasi. Setengah bagian dirinya masih belum mempercayai pikirannya sendiri.

"Oh jangan, ini tidak mungkin..." pikirannya berkecamuk.

Dengan panik dia meraba seluruh kepalanya. Mengacak rambutnya sendiri dan mencoba melepaskan benda itu berharap masih ada kesempatan untuk melepasnya dan merubah apapun yang dibayangkannya sedang terjadi.

Semua sia-sia. Benda itu.. "Oh tidak mungkin" pikirnya lagi.

Perlahan Richy bangkit. Menyeret langkahnya dengan kaku mendekati cermin kecil disudut kamarnya.

Setelah menyibakkan rambut di kedua sisi kepalanya, dia hendak menjerit.

Richy...

Dia...

Sepasang benda itu adalah...

Tanduk...

...


Disana... di kedua puncak kepalanya.. tumbuh sepasang tanduk kecil seperti tanduk kijang gunung. Kecil namun tajam dan hanya sepanjang jempol tangannya. Berwarna hitam pekat bagaikan batu bara. Dan sedikit melengkung seperti bulan sabit.

"Ini pasti mimpi" pikirnya. Namun langsung teringat sakit kepalanya yang tadi terasa begitu nyata.

"Kumohon lepas lah" Richy putus asa mencoba mematahkan tanduk itu namun terasa sia-sia bagaikan mencabut tulang dari tubuhnya sendiri.

Air mata berjatuhan dari pipinya. Rasa asin memenuhi mulutnya saat tetesan air mata itu masuk menyentuh indra pengecapnya. Namun dia menangis tanpa suara.

Ketakutan dan kesedihan telah menguasai dirinya dan hanya air mata yang menunjukkan kepedihannya. Sambil terduduk memeluk lutut di samping ranjangnya, Richy menangis sejadi-jadinya. Tangisan bisu penuh pilu.

Lalu dia teringat mitos dari buku Ayah Evan.

Bagaimana jika makhluk mitologi itu tidak muncul tapi manusia lah yang berubah menjadi monster.

Bagaimana jika perubahan itu tidak hanya merubah bentuk fisiknya tapi ikut mengubah sifatnya.

Bagaimana jika dia sungguhan menjadi monster dan membahayakan orang-orang desa.

Oh tidak...

Bagaimana dengan Ayah Ibunya, kedua belas kakaknya dan keempat temannya. Apa Richy akan membahayakan mereka?

Ribuan "bagaimana" melintas di kepalanya membuat dirinya semakin beringas. Dia sudah puluhan kali mondar-mandir mengelilingi kamarnya dengan tangan dan kaki gemetar.

Sekelebat ingatan menghampiri hatinya, ingatan tentang mimpi saat mereka berkemah. Sekarang mimpi itu sedikit masuk akal

"Ternyata itu maksudnya" gumannya berbisik.

Lalu Richy mangambil tas ranselnya yang besar. Kemudian memasukkan beberapa barang dan beberapa lembar kain. Buru-buru mengemas dan melangkah keluar menuruni tangga kayu.

Derit tangga menggema keseluruh bagian rumah. Dia takut membangunkan keluarganya jadi dia jalan perlahan sekali dan mencoba tidak menimbulkan suara apapun.

Dia melanjutkan langkahnya ke dapur, membungkus beberapa roti dan keju lalu buru-buru memasukkannya kedalam tas.

Sebagian dirinya masih ragu namun rasa sayang kepada keluarganya meyakinkan itu. Jadi dia meneruskan pekerjaannya.

Setelah tasnya penuh, dia berjalan perlahan menyusuri lorong tempat pintu-pintu kamar keluarganya berada. Pertama pintu kamar Orang tuanya, kemudian kedua belas kakaknya, dan di ujung lorong ada kamar kakek dan neneknya.

Dia mengecek satu persatu anggota keluarganya. Semua tampak damai dalam tidurnya. Dan walalupun sedikit konyol tapi Richy bersyukur tidak ada tanduk di kepala mereka semua.

Richy memperhatikan wajah mereka. Dari kamar ke kamar seperti mengabsen keluarganya. Membayangkan kemungkinan bahwa ini adalah terakhir kali dia melihat wajah mereka.

Setelah puas, Richy kembali ke dapur. Keluar dari pintu belakang dan menuju gudang. Kemudian melihat setumpuk perkakas kebun dan memilih garpu rumput bermata tiga. Menimbangnya dengan tangan kanannya dan kemudian melangkah keluar.

Sekali lagi dia memandang ke rumahnya. Kemudian memalingkan wajah. Dan meneruskan perjalanan.

Terus berjalan ke arah timur menuju ke desa. Masih pukul 4 pagi sehingga desa masih sepi. Tidak satupun orang yang di temuinya  selama perjalanan. Namun sebentar lagi seluruh desa pasti akan terbangun dan dia akan ketahuan. Jadi dia mempercepat langkahnya.

Akhirnya Richy sampai kerumah Arca. Kemudian bergerak ke samping jendela kamarnya. Melihat Arca tertidur dengan damai seperti bayi. Kembali,, dia melihat kepala Arca dan menghembuskan nafas lega. Tidak ada tanduk disana.

Kemudian dia melanjutkan perjalanan kerumah Ilunga. Lalu sadar Kamar Ilunga berada di lantai dua. Tidak mungkin menyelinap kesana seperti pencuri dan memanjat dinding rumahnya kemudian jatuh seperti idiot. Dengan setengah hati, Richy berlalu.

Kemudian dia berbelok menuju rumah Evan. Dilihatnya lampu kamar Evan masih menyala. Evan sedang tertidur di meja di samping ranjangnya. Dengan tangan terlipat dan kepala yang disandarkan disana. Masih memakai kacamatanya. Sekali lagi Richy mengecek kepalanya. Dan kembali bernapas lega. Tidak ada tanduk disana.

Terakhir, dia menuju rumah Ely. Dari jauh, sudah kelihatan rumahnya yang di kelilingi kebun anggur. Richy tidak berani mendekat karena anjing penjaga kabun mereka pasti akan bangun dan menggonggong. Dan dia akan ketahuan. Jadi dia hanya melihat rumah itu dari atas bukit kecil. Menatap kosong ke arah kamar Ely yang gelap.

Beberapa menit berlalu. Kemudian dia berbalik. Memandang desanya.
Lauterbrunnen.
Tempat dia di besarkan. Bermain dan berpetualang dengan sahabatnya.

Matanya kembali berkaca-kaca. Namun buru-buru di tepisnya dengan punggung tangannya.

Richy menatap ke arah langit, bersih dan dipenuhi bintang gemintang.

"Selatan" katanya dalam hati.

Kemudian Richy ragu. Dia tidak siap. Dia ingin pulang. Hampir saja dia mengurungkan niatnya.

Tapi Richy kembali mengingat mitos itu. Dan mimpi yang dialaminya.

Lalu dari ujung timur, cahaya kemerahan mulai tampak. Dan asap-asap dapur  mulai mengepul dari cerobong rumah-rumah warga.

"Aku terlambat"

Richy berlari, dia berlari sekencang yang dia bisa. Rambutnya kembali tersibak angin selagi dia berlari.

"Ah sial, aku melupakan topi ku" namun tak  ada waktu untuk kembali.

Richy terus berlari, tak berani berhenti dan membayangkan apa yang terjadi. Tak sadar sudah memasuki hutan Spine. Tak menghiraukan apapun, Richy terus berlari. Hari perlahan semakin terang dan pilar-pilar cahaya matahari menembus dedaunan lebat di atasnya.

Richy terus berlari. Terus berlari sampai seluruh badannya sakit. Dan kakinya mati rasa.

Saat matahari tepat berada di atas kepalanya, dia terjatuh di tumpukan daun yang lembab.

Kemudian semuanya gelap. Dan Richy tak sadarkan diri.

THE SLEEPING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang