24. ILUNGA

16 4 2
                                    

Udara kian hari semakin dingin. Angin utara yang berhembus dari sela-sela pegungungan Alpen, membekukan semua yang dilewatinya. Sekarang belum masuk musim dingin namun dinding-dinding tebal rumah Ilunga tidak bisa menghalau hawa sejuk yang berhembus.

Pagi ini, pucuk-pucuk tanaman ivy yang bersulur liar di pagar rumahnya membeku. Memantulkan cahaya matahari bagaikan kemilau permata yang berhamburan.

Sudah dua bulan ini kehidupannya terasa bagaikan abu-abu. Jangankan warna-warni yang biasa menghiasi harinya, bahkan Ilunga tidak bisa menentukan hitam putih dalam hidupnya selama ini. Semua terasa buram dan suram.

Richy yang hilang, Ely yang tidak mau dikunjungi, sampai kepergian Arca menghancurkan hatinya perlahan-lahan seperti api melelehkan lilin. Hanya Evan, yang masih menemaninya sampai saat ini. Evan yang dari dulu tidak pernah meninggalkan sisinya, sekarang tetap ada disana, tidak berubah sedikitpun.

Ilunga bersyukur untuk itu. Namun ada hal yang membuatnya merasa bersalah kepada sahabatnya itu. Ada hal besar yang disembunyikannya sedari dulu dan belum pernah diceritakannya pada siapapun.

Seminggu semenjak Arca pergi dan Richy menghilang, Ilunga menyadari kalau dunia terasa lebih bising daripada biasanya. Dia semakin sulit untuk berkonsentrasi pada apapun yang dikerjakannya. Bahkan seringkali dia tidak tidur malam karena suara-suara yang bergema di kepalanya.

Tetesan air hujan, detak jantung, bahkan suara hembusan napas orang lain terasa bagaikan tornado yang melewati telinganya. Dia merasa sangat terganggu karena itu.

Orang tuanya pernah memandangnya aneh saat makan malam bersama tamu keluarga, karena Ilunga mengoreksi cara makan mereka semua yang ribut dan tidak beretika. Padahal makan malam itu dihadiri oleh para bangsawan yang sudah jelas sekali paham table manner dan makan dengan sopan. Mereka juga memandangnya aneh dengan topi penerbang yang dipakainya saat makan malam formal.

Setelah kejadian itu, Ilunga lebih banyak diam dan enggan untuk berkomentar tentang apapun yang terjadi di sekitarnya. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Mengingat Ilunga yang banyak bicara terlebih kepada keempat temannya sekarang tidak pernah berbicara lagi sama sekali.

Kemudian pagi itu, Ilunga memandang cermin di kamar mandinya saat dia menyadari sesuatu yang aneh. Ujung telinganya, terlihat lebih panjang daripada biasanya. Entah karena pikirannya masih belum sepenuhnya sadar atau karena efek cermin yang hari ini terasa lain, namun bentuk telinganya terasa asing.

Cepat-cepat dia membasuh wajahnya dan bersiap-siap. Hari itu adalah hari dimana dia akan mengunjunggi Evan dan Ely. (chapter 20)

Dengan tangkas, dipakainya topi penerbang Richy di atas kepalanya, dan melangkah ringan menuju rumah sahabatnya. Semoga topi itu menyembunyikan telinganya yang aneh.

Sekarang, sudah dua bulan berlalu, telinganya sudah sepanjang telapak tangannya. Bahkan topi penerbang Richy terasa sempit saat dipakai karena tersangkut daun telinganya yang panjang.

Namun sampai saat ini, tidak ada satu orang pun yang tau. Termasuk sahabatnya, Evan.

Hal ini mengganjal dihatinya bagaikan kerikil-kerikil dibalik kulitnya. Perasaan tidak nyaman menghantui hari-harinya atas rasa bersalah pada dirinya sendiri dan pada Evan karena tidak bersikap jujur dan menyembunyikan sesuatu dari sahabatnya sendiri.

Tapi dia tidak siap untuk jujur. Dia tidak siap dengan apapun reaksi yang akan diberikan Evan jika dia mengetahui sahabatnya berubah perlahan menjadi makhluk Aneh.

Dilema menghantuinya. Dia benar-benar tidak tau harus apa.

Hari ini, dia dan evan ada janji untuk menemui Ely. Mereka berdua tidak pernah bosan untuk mencoba menemui Ely dan melihat keadaannya. Setiap berkunjung, mereka berharap Ely akan keluar dengan keadaan baik-baik saja dan kembali bermain dengan mereka.

Iluga bersiap-siap dengan baju tebalnya dan tak lupa mengenakan topi penerbang Richy untuk menutupi telinganya. Setelah siap, dia berangkat untuk manemui sahabatnya, Evan.

...

Dilihatnya dari jauh, rumah Evan yang dipenuhi tanaman-tanaman merambat di sepanjang dindingnya. Dengan bangunan perpustakaan yang megah di sebelahnya. Ilunga langsung masuk dan mendapati Evan sedang duduk di sofa kecil disebelah perapian.

"Kau sudah siap? " Tanya Ilunga begitu mereka sudah berhadap-hadapan.

"Sudah, Ayo kita berangkat" tanpa memandang Ilunga, Evan langsung bangkit dan mengenakan mantel tebal yang tergantung di gantungan mantel sebelum pintu keluar.

Ilunga yang merasa aneh karna sikap Evan hari ini hanya menahan diri untuk bertanya. Kemudian mereka keluar dan mulai berjalan di atas jalan berkerikil. Dilihatnya Evan berjalan terseok-seok karena mantel tebal yang menutupi tubuhnya dan kacamatanya yang seringkali bergeser melewati hidungnya.

"Kau tidak apa-apa?" Ilunga  tidak tahan untuk bertanya.

"Ya, aku baik-baik saja." Tanpa sengaja mata Evan menatap mata Ilunga selama beberapa saat dan kembali membuang muka.

Hanya beberapa detik itu sudah cukup bagi Ilunga untuk menangkap apa yang terjadi pada Evan.

"Apa yang  terjadi pada matamu?" Ilunga menghentikan jalannya. Evan yang ada di  depannya pun seperti membeku beberapa saat.

"Apa?" Tanya Evan tanpa berbalik badan. Takut rahasianya akan ketahuan. Ilunga mendengar detak  jantung Evan bagaikan genderang perang yang ditabuhkan disebelah telinganya.

"Kau tau apa yang kumaksud Evan. Ada apa?" Ilunga bertanya lagi namun Evan masih bergeming.

Kemudian Evan berbalik, melepas kacamatanya dan menatap mata Ilunga lekat-lekat. Membiarkan Ilunga menatap manik matanya yang sekarang tidak lagi bulat seperti kelereng hijau.
Jeda sejenak ketika kebisuan menyerang mereka berdua.
"Apa yang terjadi?" Tanya Ilunga lagi. Dengan suara pelan dan tertahan.
"Kau lihat apa yang terjadi. Mataku berubah menjadi bintang. Aku, aku bahkan tidak memerlukan kacamata bodoh ini lagi. Mataku yang dulunya tidak bisa melihat benda yang jauh, sekarang bisa melihat permukaan bulan bagaikan itu ada tepat di depan ku. Aku takut Ilunga, Aku monster." Teriak Evan dengan emosi yang menggebu-gebu. Matanya sejenak berkaca-kaca sambil dia berbicara.

Kemudian kebisuan kembali menyerang. Mereka masih saling tatap. Bintang hitam di tengah mata hijau Evan tidak bergeming bagaikan kelamnya danau hitam di tengah hutan hijau.

Dengan perlahan Ilunga mengangkat tangannya. Menyentuh topi penerbangnya dengan kedua tangan dan mengangkatnya ke atas, melepaskannya.

Rambutnya yang panjang ikut terangkat kemudian jatuh seiring lepasnya topi itu dari kepalanya. Namun bukan itu fokus utama Evan. Dibalik rambut kusut itu, mencuat dua buah telinga panjang yang melewati kepalanya bagaikan telinga ELF. Panjang sekali sampai rasanya seperti tanduk yang ada di sisi kepala Ilunga.

Evan ternganga. Tak bisa berkata apa-apa selain diam dan terkesima akan perubahan yang terajadi pada sahabatnya.

"Kau tidak sendiri, Evan. Kau tak pernah sendiri"




~Haloo readers
Author kembaliii(✿ ♡‿♡)
Pada kangen yaa sama Author
Maaf ngakunya hiatus 2 minggu tapi ternyata kelewatan ಥ╭╮ಥ

Sebagai permintaan maaf, setelah ini ada part bonus hehehe
Selamat menikmati yeorobun(づ ̄ ³ ̄)づ❤️

THE SLEEPING STARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang