2

305 47 1
                                    

Harris benar-benar menjemput Ralia pada esok paginya. Harris turun dari motor dan mendatangi Ralia yang sedang mengenakan sepatu di teras rumah. Pamit pada mama yang sedang berada di dapur.

"Ma! Harris sama Ralia berangkat ya!" teriak Harris agak keras agar didengar oleh mama.

"Iya!" balas mama dari dalam. "Hati-hati ya sayang ya!"

Harris tidak menjawab lagi, ia memperhatikan pacarnya yang sedang kesusahan mengikat tali sepatu. "Sini biar aku bantu," kata Harris berjongkok didepan Ralia.

Refleks Ralia menutup bawah roknya saat Harris berjongkok. "Kamu udah sarapan?"

"Belum, nanti ke kantin aja bentar. Kamu sendiri?"

"Cuma roti." Ralia mendapati ujung sepatunya ditepuk oleh Harris dua kali.

"Ayo, berangkat. Mau pake jaket nggak?" tawar Harris memasang helm di kepalanya. Menyuruh Ralia untuk memakai helm juga.

Ralia memperhatikan jaket kulit yang Harris kenakan, persis seperti jaket yang gadis kemarin pakai di tengah hujan. "Nggak usah, nggakpapa." Ia tidak mau memakai jaket bekas yang sempat dipakai oleh selingkuhan pacarnya.

Di sepanjang perjalanan, Ralia banyak berpikir. Dulu, senang sekali rasanya duduk di boncengan Harris karena belum tahu apa-apa dan selalu mendapati perlakuan spesial laki-laki itu. Lalu sekarang, rasanya agak janggal. Kalau Ralia memeluk, pikirannya langsung lari kemana-mana. Selalu seperti, 'pinggang ini juga pernah dipeluk cewek lain' atau 'boncengan Harris gak cuma bonceng pacarnya, tapi buat selingkuhan juga'.

Pemikiran seperti itu kerap membuat Ralia merasa sedih. Hatinya sakit, tapi ia sama sekali tidak ingin menanyai Harris. Ralia hanya merasa, butuh waktu sampai Ralia sendirilah yang akan beranjak dari laki-laki itu. Ralia tidak mau dicampakkan lebih dulu. Kalau bisa, setelah siap nanti, ia yang akan pergi dan melayangkan pukulan paling sakit untuk perasaan Harris.

Hanya saja, Ralia belum tahu kapan itu terjadi.

Tidak seperti kebanyakan pasangan lain, Ralia dan Harris memang tidak mengobrol kalau sedang di atas motor. Mereka hanya suka menikmati perjalanan dengan sudut pandang masing-masing.

"Sialnya, gue masih sayang sama pemilik punggung ini." Ralia meruntuhkan segala macam egonya dan memilih memeluk Harris. Menyandarkan kepalanya pada punggung lebar yang masih menjadi favorit walau ia tahu punggung itu bukan hanya ia lagi yang memeluknya.

Harris mengelus lembut punggung tangan Ralia yang berada didepan perutnya. Perlakuan seperti inilah yang Ralia kira hanya Harris berikan padanya.

***

Ralia melamun saat Randu masuk ke dalam kelas dengan dua kantung kresek berisi makanan yang Randu beli di kantin tadi. Randu suka mengemil sesuatu di jam-jam tertentu. Kresek tadi isinya adalah cemilan untuk dirinya sendiri.

Tempat duduk Randu berada di belakang Ralia. Randu duduk dengan Felix Siamdra Genio, laki-laki keturunan australia yang sehari-hari hobinya bermain game online.

"Bagi dong."

Bukan Felix yang meminta, tapi Hesta, yang notabenenya duduk di samping Ralia.

"Beli," ujar Randu dengan cepat menyimpan kresek cemilannya.

Hesta mencebik, "Pelit."

"Oh iya, udah pada tau kan kalau Caca hari ini nggak sekolah lagi. Dia home schooling," kata Felix tiba-tiba. Membuat Ralia, Hesta dan Randu menatap ke arah laki-laki itu. Hamka adalah teman dekat Felix, sejak kecil tumbuh bersama. Itu mungkin yang membuat Felix tahu lebih dulu kabar tentang Hamka.

"Hamka nya gimana?" tanya Ralia memelankan suara.

Felix melihat gadis itu. "Hamka masih sekolah, dia ada di kelas samping tuh sama Harris."

Hesta menghela nafasnya pelan. "Pihak sekolah cuma berhentiin Caca doang?"

"Kayaknya nggak diberhentiin, emang Cacanya yang nggak mau sekolah lagi," tambah Felix.

"Kalau jadi Caca pun gue pasti milih buat home schooling." Randu menyatukan tangan di atas meja. "Tau sendirilah gimana resiko untuk siswi lagi hamil terus masih ada disekolah."

"Tuh makanya kalian kalau gituan hati-hati." Ralia memukul satu persatu tangan laki-laki itu. "Jangan mau enak aja tapi ngerugiin cewek!"

"Heh ngomong ape sih lo?" Hesta bersungut. "Gituan apanya?"

"Ya gituan. Yang aman-aman ajalah, kalau udah nggak tahan, ya pakai otak supaya nggak terjadi hal-hal di luar dugaan."

"Udah takdir tuhan juga, Ra." Felix tertawa mendengar penuturan Ralia.

Sementara Hesta masih menatap Ralia sinis. "Lo juga jaga diri, lo tuh cewek. Kalau pacaran yang sehat-sehat, ntar gue bilangin Harris juga jangan sampai dia ngerusak sahabat gue!"

Randu langsung melirik Ralia saat Hesta selesai berbicara.

"Nyatanya gue hancur, Hes. Hati gue yang perlahan hancur." Ralia membatin, membalas lirikan Randu.

"Gue bisa jaga diri kali," cicit Ralia tidak mau membuat Hesta mengatakan yang tidak-tidak pada Harris.

Sudah cukup selama ini Hesta berperan besar dalam hidupnya. Tidak lagi, Ralia tidak akan membiarkan siapapun terlibat. Jatuh cinta itu pilihan, berpacaran dengan seseorang juga pilihan. Dan bertahan di sisi Harris di saat Ralia tahu segalanya, jugalah bentuk dari sebuah pilihan.

Tiba-tiba saja sebuah coklat batang yang berukuran cukup besar ditaruh di atas meja Ralia dan Hesta. Pelakunya adalah Jevan.

"Ada aja yang iseng naruh coklat di loker gue!" Raut wajahnya tampak sangat kesal, ini memang bukan kali pertama Jevan mendapatkan coklat mahal itu. "Awas aja sampe gue tau siapa orang iseng itu. Makan tuh, buat lo siapa yang mau dah." Jevan menarik kursinya agak kasar, ia duduk dengan Julio didepan Ralia dan Hesta.

Ralia dengan cepat meraih coklat itu sebelum disimpan Hesta. "Buat gue, Hes!"

"Bagi dua!" teriak Hesta tidak terima.

"Ish, enggak!" Ralia menggeleng. "Pokoknya buat gue! Ngalah kek sama cewek." Ralia menatap Hesta dengan tatapan mengejek.

Bibir Hesta bergerak-gerak hendak membalas ucapan Ralia. "Yang kayak gini aja baru lo boleh dianggap cewek ya!"

Ralia menyengir lebar kemudian menyimpan coklat mahal itu dalam tasnya. Tidak peduli celotehan Hesta tepat disamping telinganya.

Setidaknya coklat berhasil mengalihkan beberapa pikiran yang membebani kepalanya.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang