10

245 40 3
                                    

Harris datang lagi ke kelas Ralia, duduk disampingnya seperti kemarin. Laki-laki itu masih memakai hoodie berwarna abu-abu, kupluknya ia jatuhkan sampai menutupi sebagian matanya. Begitu saja, Harris sudah tampak begitu menawan.

"Udah sarapan?" tanya Harris memangku dagu dengan tangan di atas meja Ralia

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Udah sarapan?" tanya Harris memangku dagu dengan tangan di atas meja Ralia. Hesta untungnya belum datang, Felix juga demikian.

Kalau tidak, mereka bisa alergi setengah mati melihat tingkah kaum-kaum yang pacaran itu.

Ralia mengangguk kecil, sudah sarapan namun tidak banyak. Kalau Harris mengajak lagi, mungkin Ralia akan ikut.

"Aku tadi udah sarapan juga," kata Harris seolah tahu apa yang Ralia pikirkan. "Kalau kamu mau lagi, ayo ke kantin."

"Kamu sarapan di mana? Bukannya Bunda—"

"Sama Kak Erina, tadi pagi nganter Kak Erin ke kampus dulu baru aku ke sini."

"Oh...Kak Erin," ulang Ralia. "Nggak usah deh, aku udah kenyang kok." Ralia menolak tawaran Harris. "Ini kamu harumnya beda. Ganti farfum ya?"

Harris meraih bagian hoodienya dan mencium bagian yang menimbulkan harum, ia juga mengarahkan bagian hoodie itu ke hidung pacarnya. "Wangi nggak?"

"Wangi, tapi lebih soft ya?"

Harris mengangguk kecil, binar matanya tampak bahagia, membuat Ralia yang awalnya ingin bertanya kenapa Harris mengganti aroma farfum jadi mengurungkan niatnya. Farfum yang selalu Harris pakai sebelumnya adalah farfum pilihan Ralia. Kali ini, apa laki-laki itu akhirnya bisa menemukan aroma yang ia sukai tanpa bantuan Ralia lagi? Atau jangan-jangan ada orang lain yang membantu pacarnya itu?

Dadanya tiba-tiba terasa sesak memikirkan itu.

"Ra, jalan yuk?" Harris tersenyum manis menatap wajah Ralia.

"Ke mana?" respon Ralia seadanya, ia yakin kalaupun dijanjinkan lagi, Ralia tidak akan menunggu Harris. Ia lelah diingkari namun tidak bisa marah sebagai balasannya. "Kalau kata-kata kamu cuma mau—"

"Enggak, ini beneran. Aku pengen jalan sama kamu, Ralia. Kalau Kak Erina tiba-tiba minta tolong bakal aku skip, buat kamu kali ini."

Erina lagi. Harris sampai kapan sandiwaramu terus berjalan sementara Ralia hampir tahu apa saja yang kamu lakukan?

Ralia mendengus tawa membuat Harris mengerutkan alisnya samar. "Yaudah, kabarin aja kapan dan jam berapa," ujar Ralia akhirnya.

Harris mengangguk senang. "Yaudah aku balik kelas dulu."

Ralia membelalakkan mata selebar yang matanya bisa saat Harris tanpa aba-aba mengecup singkat pipi kanannya. Refleks Ralia menyentuh bekas ciuman Harris dan melihat Harris yang tertawa seakan itu bukanlah sesuatu yang harus Ralia tanggapi dengan begitu terkejutnya.

"Gila. Kalo gini gimana gue bisa cabut sih, Ris?" monolog Ralia tanpa takut orang lain mendengarnya.

***

"Mau ke mana?"

Ralia mengacuhkan Jevan yang baru saja bertanya padanya. Ia tetap melangkah menapaki tangga mengarah sebuah pintu besi berwarna abu-abu yang tampak usang.

Jevan mengikuti Ralia. "Kalau ketahuan ke sana lo bakal kena denda," peringat Jevan berusaha menahan Ralia dengan kata-katanya.

Pasalnya, gadis itu mendekati pintu menuju loteng sekolah. Tempat yang haram dikunjungi oleh siswa dan siswi. Pintu tersebut memang tidak dikunci, tidak digembok, dan hanya diberi penghalang beberapa kursi dan meja yang rusak.

Ralia menghela nafas. "Ngapain ikut gue naik ke sini?"

Jevan menaikkan bahu. "Kaki gue jalan sendiri."

Ralia menaikkan alisnya. "Kenapa setiap kali gue pengen sendiri, lo muncul terus sih?"

"Artinya lo nggak bener-bener pengen sendiri. Makanya ada gue."

"Jevan lo kenapa sih?" tanya Ralia sengit, menatap Jevan malas. "Lo kasihan sama gue? Buang jauh-jauh deh, gue nggak butuh. Balik lagi kayak Jevan yang biasanya, acuh, nggak peduli dan diem di kelas kalau nggak dijemput Shira," tutur Ralia berbalik arah meninggalkan Jevan. "Gue nggak suka lo kayak sekarang."

"Tunggu, Ra." Jevan menahan pundak Ralia.

Si pemilik pundak langsung mengenyahkan tangan Jevan. "Jangan tahan, jangan pegang."

Jevan tersenyum miris. "Gue nggak seacuh itu, kalau lo mau tau," imbuh Jevan. "Gue peduli dan nggak sediem yang lo sangka," lanjutnya menatap lurus ke mata Ralia. "Gue tau semua kok. Semua hal tentang lo sama Harris. Lo beberapa kali buntutin dia, curi foto dia pas lagi sama mainannya."

Jantung Ralia berpacu lebih cepat dari sebelumnya. Ia membalas tatapan Jevan dengan lebih berani.

"Berarti lo anjing, sama kayak Harris." Ralia mengumpat, masih bersitatap dengan pemilik mata teduh yang kadang-kadang terlihat tajam itu. "Sebagai temen yang baik, nggak gitu caranya Jev. Lo tau kan kalau perbuatan Harris salah? Lo bahkan tau kelakukan dia, tapi kenapa lo diem aja? Tegur dia, ingatkan Harris kalau ada hati gue yang perlu dia jaga." Nafas Ralia mulai tak beraturan, biasanya Ralia tidak sampai berlinang air mata. Tetapi kali ini, satu kedipan lagi akan menjatuhkan air matanya. "Sama aja lo—"

"Udah, Ra? Udah puas lo ngomongnya? Gantian gue, sekarang dengerin apapun yang gue bilang. Jangan dipotong," titah Jevan bersungguh-sungguh, seakan kalau Ralia memotong kalimatnya maka ia akan melakukan sesuatu yang akan Ralia sesali pada akhirnya.

"Kelakukan dia bukan urusan gue, tapi...perasaan lo selalu masuk kepikiran gue," ungkap Jevan menatap Ralia serius. Ia membasahi bibirnya sebelum melanjutkan, "Segala hal perbuatan dia yang nyakitin elo, nggak berhak gue campuri, Ra. Cuman, tolong inget satu hal, gue nggak ada dibagian rasa sakit yang Harris kasih buat lo. Tapi gue, bakalan ada dicerita selanjutnya, cerita yang bakalan ada setelah pengakuan ini. Gue...peduli sama lo."

Jevan menunduk sesaat, Ralia sendiri tidak berkutik ditempatnya berpijak.

"Nggak pernah sekalipun acuhin lo dan gue...selalu sigap setiap kali lo mengalami suasana hati yang buruk."

"Mak—maksud lo apa sih Jev, gue nggak ngerti." Ralia menggelengkan kepalanya, mengenyahkan segala pemikiran buruk soal perkataan Jevan barusan. "Jangan ambigu, jangan buat gue mikir yang enggak-enggak!"

Jevan memejamkan mata. "Terima ya? Apapun yang bakal gue lakukan buat lo, tolong terima. Cuma itu satu-satunya cara supaya gue nggak terus ngerasa nyesel karena nggak memperjuangkan perasaan gue buat lo dulu. If I could have anyone I wanted. I'd still choose you. You're the only one I want, Ra. More than Harris."

Yang Ralia rasakan saat ini hanyalah ruang kosong tanpa ujung. Ia tidak menolak pengakuan Jevan, namun tidak berani untuk menerimanya. Sebab ia tahu, Jevan barusan telah melakukan kesalahan yang akan menyakiti banyak perasaan. Ralia menggeleng tidak percaya, menghamburkan diri dari hadapan Jevan dalam keadaan bingung luar biasa.

Kenapa? Laki-laki sebaik Jevan harus melakukan hal seperti itu? Apakah Jevan lupa bahwa perasaannya harus terjaga karena ia memiliki Shira?

"Yatuhan, maksud ini semua apa sih?!" erang Ralia sepanjang perjalanan menuju ruang kelas. Frustasi, Ralia merasa frustasi.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang