Pantaskah Ralia mendapatkan perlakuan lembut dari seorang laki-laki ini? Laki-laki yang tidak pernah benar-benar dekat dengannya sebelumnya. Laki-laki yang selalu hidup dengan baik dijalannya, juga tidak pernah terkena pengaruh buruk teman-teman di sekitar. Ia adalah Jevan, yang Ralia kenal Jevan adalah laki-laki manis setiap kali bersama pacarnya. Jevan selalu menundukkan pandangan dan menatap Shira penuh kasih.
Tetapi semua pengakuan Jevan...apa pantas kalau Ralia bilang dirinya cukup senang? Tidak, jika kembali dipikirkan, sebenarnya Jevan sudah mengusik pikiran dan hatinya sejak awal.
Ralia ingin terus menyangkal karena ia tahu ini adalah kesalahan. Tetapi...bolehkah seseorang terus menerus menahan perasaannya? Sekalipun untuk rasa bahagia?
"Hadap depan, Jevan," cicit Ralia membuang muka ke sembarang arah.
Jevan dari tempat duduknya masih terus melihat Ralia. "Kapan lagi gue bisa natap lo sedekat ini?" katanya kemudian menggelengkan kepala. "Kapan sih lo nggak cantik?"
"Gombalan lu nggak mempan di gue, sorry-sorry aja nih."
Lantas Jevan tertawa. "Gue nggak gombal tuh?"
"Yaudah sana puter badan lo!"
Jevan menggeleng lagi, ekspresinya senang. Dengan senyum lebar tanpa gigi dan kelopak mata yang melengkung ke bawah. Jevan memang selalu tampan, Ralia akui. Tapi, baru kali ini ketampanannya berhasil mengusik perhatian Ralia.
Kalau diingat, keduanya selalu menjadi teman sekelas sejak SMP, bahkan kini sudah setengah semester di kelas 2 SMA. Jika bukan karena campur tangan guru, Jevan memang selalu menempati duduk di depan atau belakang Ralia. Dan semuanya masuk akal kalau Ralia mulai menelaah setiap sikap Jevan sejak awal. Mungkin dulu, kehadiran Jevan sama seperti teman biasa, makanya Ralia tidak begitu ambil pusing sebagaimana seharusnya.
"Jangan kesel gitu dong." Jevan menaruh sebungkus plastik putih berlogo minimarket terkenal di atas meja Ralia.
Ralia mendongak, menatap Jevan yang kini hanya tersenyum tipis. "Ngapain beli banyak banget gini?"
"Buat gantiin yang waktu itu," balas Jevan, lalu memutar tubuhnya menghadap kedepan.
Bertepatan dengan Julio dan Randu memasuki kelas.
"Abis istirahat kan ulangan matematika." Julio menaruh tas di sebelah Jevan, tapi tubuhnya langsung menghadap belakang mencari atensi Randu. "Borong, Ra?" katanya teralihkan dengan plastik putih penuh susu coklat milik Ralia yang diberikan Jevan. "Bagi dong satu," pintanya dengan tangan menengadah.
Ralia melirik Jevan sekilas, laki-laki itu masih menghadap depan. "Beneran jadi ulangan hari ini, ya?" tanya Ralia. Susu kotak rasa coklat pun ia bagikan pada Julio.
Julio berterima kasih. "Mana mungkin nggak jadi."
"Udah belajar belum lo?" tanya Randu dari belakang. "Semoga lo nggak main terus sama Hesta deh, tuh bocah kan ogah banget kalo matematika."
"Malahan tadi malem dia ke rumah ngajakin gue baca-baca rumus," tutur Ralia. Meski agak bingung dengan sikap Hesta tadi malam sebenarnya. "Tumben banget, kan?"
"Serius lo?" Randu terdengar tidak percaya.
"Iya, serius! Gue nggak fokus, tapi dianya baca rumus sampe ada beberapa yang dihafal juga."
Julio dan Randu saling menatap, sulit mempercayai perkataan Ralia jika itu tentang Hesta belajar. Sejauh yang mereka kenal, Hesta itu hidupnya penuh santai. Ia hanya akan membaca sedikit di jam-jam rawan menuju ulangan diadakan. Tetapi walau begitu, nilainya tidak pernah menjadi yang terakhir dalam kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden relationship (00-01line)✔️
Ficção AdolescentePenyesalan kadang-kadang memang berakhir buruk. Ketidak setiaan hati seseorang bisa menyebabkan patahnya banyak hati yang lain. Memaksakan sesuatu, apalagi perasaan, sangat jarang bisa berakhir dengan kebahagiaan. Keharmonisan akan sirna bila satu...