5

256 45 4
                                    

Perpustakaan yang hening memang cocok menjadi pelarian untuk menenangkan pikiran. Berpura-pura mengambil beberapa buku untuk dibaca, nyatanya Ralia malah melamun, menatap jalan batu di samping jendela besar dalam perpustakaan sekolah.

Tuk!

Ralia menunduk untuk melihat satu coklat batangan terdampar di atas mejanya. Lalu ia mendongak untuk tahu siapa pemilik coklat itu.

"Gue lagi nggak mau makan coklat. Yang kemaren aja belum habis," ujar Ralia menggeser coklat ke arah laki-laki yang sekarang duduk dihadapannya.

Jevan, dalam diam memperhatikan semurung apa Ralia sejak tadi pagi. "Yaudah buang aja kalo nggak mau," titahnya.

"Lo aja yang buang." Ralia kembali melihat jendela, menikmati suasana kosong lapangan luas di hari yang terik. Untung saja perpustakaan difasilitasi dengan pendingin ruangan paling superior.

"Galau ya lo?"

Ralia tidak menjawab, ia menaruh kedua tangannya di atas meja dan menjatuhkan kepalanya di sana. "Lo kalau baca buku ya baca aja. Jangan mau tau keadaan orang."

Jevan menyunggingkan senyuman tipis. "Yaudah sih," katanya pelan kemudian lanjut membaca buku tanpa mengganggu Ralia.

Gadis itu tampak tertidur padahal sebenarnya tidak. Ia hanya memejamkan mata dan memikirkan banyak hal dalam kepalanya. Hatinya juga mengambil peran penting dalam perdebatan batin kali ini. Ia tahu, mungkin Harris mulai jenuh berpacaran dengannya. Mungkin juga Ralia memang se-membosankan itu.

Namun, setelah memergoki banyak sekali aksi Harris. Kenapa Ralia masih tetap memiliki perasaan untuk laki-laki itu? Kenapa hatinya masih dimiliki Harris tidak peduli sebanyak apa beban yang harus Ralia terima.

Bagaimana cara mengakhiri semua ini tanpa membuat dirinya menyesal karena tidak pernah speak up atas segala perlakuan Harris dibelakangnya. Karena mungkin saja, jika Ralia berani bertanya dan memastikan, ia akan bisa membuat Harris mengakui apa yang menjadi penyebab Harris menduakannya selain kebosanan.

"Dia bukan cowok berengsek..." Ralia tidak sadar lirihannya keluar dan didengar Jevan. "Harris yang gue kenal nggak kayak gini. Kenapa sih lo berubah, Ris?" kata Ralia dalam hatinya, untung saja.

Karena bisa-bisa Jevan langsung mengklaim kalau Ralia sedang galau berat.

Ralia mengangkat kepalanya dan bertemu tatap dengan Jevan yang entah sejak kapan melihat Ralia penuh pertanyaan. "Jev duduk ditempat lain gih, gue mau sendiri."

"Kalau sendiri, rasa sedihnya lebih kerasa loh," tutur Jevan acuh.

"Jev—"

"Gue kan nggak ganggu," sela Jevan.

Ralia menghela nafas dan memutar bola matanya malas. Tidak berkata apa-apa lagi dan akhirnya memilih diam dan membiarkan Jevan tetap duduk didepannya.

***

Ralia meregangkan tubuhnya saat merasa pegal bukan main. "Mampus gue ketiduran!" rutuk Ralia buru-buru berdiri. Ditambah perpustakaan sudah sangat sepi dan sekarang sudah lewat jam pulang sekolah. "Sialan Jevan nggak bangunin!" Ralia mengambil bukunya dan keluar dari perpustakaan menuju ruang kelas untuk mengambil tas.

Sesampainya di kelas, Ralia menemukan Jevan sedang bermain ponsel ditempat duduknya seorang diri. Ralia berjalan santai menuju bangkunya dan mengambil tas.

"Pulang sama siapa lo?" tanya Jevan tanpa repot-repot mengalihkan pandangan dari layar ponsel.

Ralia melirik laki-laki itu sekilas. "Nggak usah nanya," ketusnya.

"Ditanya baik-baik juga." Jevan berdiri, mengarahkan tubuhnya pada Ralia. "Buruan ambil tas lo, pulang sama gue aja sekalian jalan."

"Gue mau naik bus. Makasih tawarannya."

"Gue sekalian mau ke rumah Shira, aelah," decak Jevan tidak suka berhadapan dengan sifat-sifat keras kepala seorang perempuan. "Kan deketan sama rumah lo juga."

Jevan memang tidak mengada-ada. Rumah Shira dan rumah Ralia berada di jalan yang sama, hanya berjarak 500 meter saja.

"Nggak usah, gue naik bus," kata Ralia setelah sebelumnya sempat menimang untuk menerima tawaran Jevan.

Gadis itu berlalu, melangkah menjauhi kelasnya menuju gerbang sekolah. Matanya mendapati sebuah mobil putih milik papa terparkir didepan gerbang.

"Duh! Gue lupa ditungguin Pak Aming!" Ralia berdecak dan merutuki kecerobohannya. Ia berjalan cepat ke mobil itu dan menepuk kacanya. "Pak Aminggg! Maaf banget jadi nunggu lama ya."

Supir pribadi papa Ralia itu hanya tersenyum maklum. "Gakpapa, Non. Bapak malah mengira Non udah pulang duluan. Tapi kata Ibu, Non Ralia belum di rumah."

Ralia duduk di jok penumpang, masih merasa bersalah pada pak aming. "Mama tau kalau aku telat keluar ya, Pak?"

Pak Aming mengangguk segan. "Maaf ya Non. Pak Aming panik sendiri tadi, jadinya nelpon Ibu."

"Yaudah, Pak. Nggakpapa, jalan sekarang aja, ya. Sebelum Mama makin dingin ke aku," kata-kata terakhirnya ia pelankan agar tidak mengganggu ketenangan pak aming.

Sementara Jevan menatap tanpa kedip ke arah mobil yang Ralia naiki. Jevan menerka-nerka Ralia dijemput oleh siapa. Dan akhirnya, ia berjalan dibelakang mobil Ralia dari gerbang sekolah sampai berhenti didepan pagar rumah Ralia.

"Non, itu pacarnya Non bukan?" Pak Aming menginterupsi Ralia dan menunjuk seorang anak laki-laki dengan seragam dibalut jaket, baru saja melewati rumah Ralia setelah meng-klakson dua kali.

"Oh bukan..." Ralia meneliti penampilan laki-laki itu. "Emang kenapa, Pak?"

"Dari sekolahan tadi dia jalan dibelakang mobil kita terus soalnya. Bapak kira pacarnya Non Ralia. Siapa namanya Non? Bapak lupa."

"Harris, Pak," jawab Ralia dengan senyum getir terpatri di wajah cantiknya.

"Oh iya Mas Harris. Kemaren Non sama pacarnya jalan-jalan, ya? Bapak nggak sengaja lihat pas beli makan siang Papa-nya Non di warung biasa."

Ralia terdiam, tidak berniat turun dari mobil sama sekali. "Itu jam berapa kira-kira, Pak?"

"Karena Papanya telat makan siang, jadi saya keluar beli makan sekitar jam 4 sore gitu, Non," kata pak Aming sambil mengingat-ingat.

"Jam 4 ya..." Ralia meringis tanpa pak Aming sadari. Tentu saja yang pak Aming lihat itu sama sekali bukan Ralia. Karena Ralia, jam empat sore masih tertidur dengan nyaman didalam kamarnya. "Siapa lagi, ya?" Hatinya terasa kosong sekali.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang