7

245 40 5
                                    

"Kok jadi rame banget?" Ralia berbisik di telinga Hesta saat menemukan bukan hanya Randu dan Felix saja tapi ada Jevan, Julio juga Jerico. Ia seperti bunga yang tengah dikelilingi serangga saat ini.

Hesta mengedikkan bahunya acuh. "Udah biarin aja, ntar kita berdua kabur pas mereka lengah," balas Hesta ikut berbisik menjabarkan rencana nakalnya. "Gue pengen makan bakso ditempat biasa, jangan sampai mereka tau."

"Gue denger, dodol." Jerico hendak mengumpat pada Hesta. Tapi sadar kalau mall saat ini cukup ramai, ia masih punya rasa malu.

"Emang di mana sih tempat makan biasa lo berdua?" sahut Jevan dengan wajah tengilnya. Melirik Hesta ogah. "Mentang-mentang sahabatan, perlakuin temen sembarangan."

Julio menahan tawa. "Apaan sih!"

"Tau, nggak jelas," cibir Randu.

Jevan terkekeh, yang penting berhasil membuat salah satu dari mereka tertawa dengan lelucon tidak lucu andalannya. Siapa lagi kalau bukan Ralia yang menghargai apa saja yang berada di sekitarnya.

"Mau beli kado apa nih? Pengen ngekadoin apa?" tanya Ralia usai kembali tenang seperti awal. Ia berdiri di antara Hesta dan Julio. Randu dan Jevan berjalan di belakang mereka sementara Jerico dan Felix sibuk mengobrolkan game kesukaan mereka di barisan paling depan.

Hesta menggeleng. "Belum tau nih, gue nggak tau Ayang Saira sukanya apaan."

Randu tidak tahan untuk tidak memukul punggung Hesta. "Jijik, anjir. Yang normal-normal ajalah, nggak pakai Ayang-Ayangan."

Hesta mengeluh sakit dibagian punggung, meski kurus tidak bertenaga, jangan pernah sepelekan tinjuan Randu. Laki-laki itu lebih kuat dari apa yang terlihat. "Terserah mau gue dong!" katanya tidak terima.

Ralia terkekeh geli dengan adegan yang barusan terjadi.

"Cari pacar buruan," kata Jevan mengejek. "Lo karena nggak pernah makanya nggak tau sensasi pas manggil cewek lo pakai 'Ayang'."

"Apalagi pas nadanya ngerengek manja gitu," tambah Jerico si pemilik nama laki-laki genit sesekolahan.

Randu bergidik. "Nggak deh, makasih."

Ralia lagi-lagi tertawa. "Kenapa sih, Ran? Lo emang nggak pernah pacaran, ya?"

"Menurut lo?" tanya Randu.

"Ng—nggak pernah ya?"

"Pernahlah! Ya tapi nggak sedeket hubungan lo semua." Randu mengingat kisahnya saat duduk di kelas 3 SMP.

"Maksudnya?" Ralia tidak mengerti.

"Dia diputusin pun ya karena monoton kata si cewek," jelas Jevan melihat Randu sesekali. Takut-takut kalau laki-laki itu tidak suka masa lalunya dibuka sembarangan. Tapi karena Randu diam saja, Jevan kembali bersuara. "Ya tipikal pacaran anak SMP lah, tapi ini parah banget. Habis pacaran, Randu nggak pernah ngajak tuh cewek ngobrol kayak sebelumnya."

"Serius?" Ralia hampir tidak percaya. Mungkin benar kalau perangai Randu memang dingin dan tidak peduli. Tapi apa sampai sebegitunya?

"Eh iya lo berhenti ngajak Nadara ngobrol tuh kenapa sih, Ran? Gue penasaran sampai sekarang," celetuk Julio yang memang tidak tahu menahu masalah apa yang Randu alami sampai mengacuhkan Nadara sebegitunya.

Randu menunduk sejenak sebelum mengangkat pandangannya ke arah punggung teman-teman didepan sana. "Gue canggung anjir, gemeteran pas lihat Nadara. Jadi, mau nggak mau gue begitu."

Setelahnya satu lantai mall bisa mendengar tawa besar milik Ralia, Jevan, Hesta dan Jerico. Sementara yang ditertawai hanya bisa terdiam dan menelan pahit-pahit fakta bahwa sampai kapanpun ia tidak akan bisa merubah dirinya. Makanya, sampai sekarang Randu tidak mencoba untuk berpacaran dengan gadis manapun lagi.

Halusnya, Randu tidak mau ada gadis yang bernasib sama seperti Nadara. Cukup satu dan satu-satunya Nadara seorang yang tahu bagaimana konyolnya Randu.

***

"Gue nggak rekomendasiin boneka kalau buat Saira." Ralia menggeleng saat Hesta menunjuk jejeran rak boneka yang tampak sangat lembut.

"Ih gue aja gemes!" pekik Hesta tertahan. "Tapi emang Ayang Saira tuh seleranya beda, makanya gue suka. Yaudah, lo rekomendasiin apa?"

Ralia menaruh ibu jari dan telunjuk di rahangnya. Menimang-nimang pilihan kado untuk Saira. "Saira nggak pakai make up, tapi wajib skincare," monolog Ralia. "Dia nggak suka lipcream, sukanya tint."

Hesta mengikuti Ralia yang berjalan menyusuri bagian kecantikan perempuan. Seperti make up, skincare dan sejenisnya. Kalau sudah di sini, maka pilihan paling baik adalah menyerahkan segalanya pada Ralia.

Namun tiba-tiba saja Jevan berada ditengah-tengah mereka dan ikut sibuk melihat-lihat.

"Rusuh amat sih!" kata Hesta sarkas. "Gue mau cepet ah, udah laper nih."

"Yaudah tinggal pilih juga, anggap aja gue nggak ada," balas Jevan sedikit menyingkir dari sana.

"Ini kayaknya keluaran baru, Hes." Ralia mengambil satu liptint berwarna pink peach.

Hesta mendekat pada Ralia. "Harganya?"

"Agak mahal sih, tapi rata-rata cewek disekolah pada pakai ini," kata Ralia tersenyum kecut.

"Serius? Shira pakai yang ini juga berarti? Pantes bibirnya bagus." Jevan menimbrung tiba-tiba. Ralia menoleh ke arahnya. "Yang mana yang warnanya bagus kalau di pakai di lo?"

"Hah?" Ralia bingung.

"Iya, dikulit lo, mana yang bagus? Lo sama Shira kan nggak beda jauh warna kulitnya," kata Jevan melanjutkan, tidak memikirkan Ralia yang bingung sebelumnya.

"Oh..." respon Ralia. "Gue pakai yang ini." Ralia mengambil satu warna yang memang menjadi pilihannya kalau soal liptint.

"Ra, ini yang buat Saira yang mana? Masa beli liptint doang, dikit banget, kecil barangnya," kata Hesta kembali mengusik Ralia dan Jevan.

Jevan berdecak, "Kalo mau gede, kadoin mobil."

"Kaga cukup duit gue, nggak usah belagu lo orang kaya."

"Siapa yang kaya?" tanya Jevan.

"Pikir aja sendiri." cetus Hesta meraih lengan Ralia untuk fokus membantunya saja.

Tapi Jevan tidak diam begitu saja. Ia mengambil beberapa buah liptint yang ditunjuk Ralia dan menentengnya ke mana pun Hesta menuntun Ralia berjalan. Sampai Hesta selesai memilihkan kado paling baik untuk ayang Saira-nya.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang