29

229 51 14
                                    

Harris terus mengikuti Ralia saat mereka bubar dari lapangan. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, dan Ralia juga buru-buru menuju parkiran mencari siapa saja yang mau menumpanginya pulang.

"Ralia," panggil Harris, mempercepat langkah agar sejajar dengan Ralia.

"Kenapa?" tanya Ralia tanpa berniat basa-basi. Melihat Harris dari jarak kurang satu meter membuatnya bisa melihat jelas kalau kantung mata Harris sedikit berwarna gelap. Entah Harris kelelahan, atau kurang tidur di malam hari.

Harris melirik ke tempat parkir, disana kedua sahabat Ralia sedang menatapnya dengan tidak ramah, apalagi Jerico.

"Aku yang anter pulang bisa?" Entah meminta atau bertanya, Ralia mengartikan keduanya dalam satu waktu. "Sahabat kamu pasti nggak bakal ngizinin kamu pulang bareng aku, ya?"

Ralia berdeham, tenggorokannya tiba-tiba terasa kering. Pandangannya berpindah ke arah Hesta yang sudah duduk di atas motor dan dibelakangnya sudah ada Saira. Kemudian Jerico yang duduk diboncengan Felix. "Izin nggak izin, gue tetep nggak mau dianter pulang sama lo."

Harris menarik nafas, dalam hitungan minggu, Ralia sudah berubah sejauh ini pikirnya. Tidak ada lagi panggilan khusus di antara mereka, baiklah karena memang hubungan mereka sudah berakhir. Namun...tatapan Ralia, benar-benar sudah berbeda. Sekuat tenaga Harris mencari, ia tetap tidak menemukannya lagi. Tatapan teduh dan sorot mata lembut saat menatapnya, tidak lagi bisa Harris temukan dari sudut manapun.

"Ra, aku emang nggak tau diri kalo minta ini dari kamu. Tapi...bisa nggak Ra tetep jadi temen? Aku nggak akan maksa atau minta kamu balik sama aku, tapi bisa nggak jangan seacuh ini? Jangan perlakukan aku seasing sekarang. Aku nggak bisa..."

"Sekarang aja baru lo mikir gitu. Kemarin-kemarin lo kemana? Atau bahkan saat lo mulai selingkuh, lo ada mikirin konsekuensi kayak gini nggak?"

Hesta sudah gatal ingin menyuruh Ralia untuk segera enyah dari hadapan Harris, namun Saira menahannya. Sedangkan Jerico memilih untuk percaya saja pada Ralia, ia yakin gadis bodoh itu tidak benar-benar bodoh. Dan kalau Ralia menunjukkan tanda kebodohan, barulah Jerico akan maju dan menariknya pulang. Sekarang Jerico hanya akan menunggu.

"Aku tau aku udah salah sama kamu." Entah sedang berakting atau apa, namun barusan Harris menunjukkan ekspresi sedih pada Ralia. Bola matanya mengkilap dan tampak sangat kalut. "Aku juga nggak tau harus nebus kesalahan ini dengan cara apa karena nyatanya kamu udah nggak bisa aku gapai lagi, kan?"

"Semuanya udah berlalu. Kalo yang lo minta cuma kata maaf, gue bakalan berusaha maafin, ke Shira juga. Tapi jadi temen...apa lo yakin kita bisa jadi temen? Mikir sedikit aja Ris, lo itu udah ngasih gue pengalaman pertama yang berakhir buruk," gerundel Ralia tenang, matanya dengan berani beradu tatap dengan tatapan gusar Harris.

Satu hal yang Ralia temukan dalam netra tajam milik Harris, yaitu tatapan Harris belum berubah. Masih menatapnya sama seperti waktu dimana Harris mengaku kalau ia ingin menjadikan Ralia sebagai pacar. Tetapi itu sudah dua tahun yang lalu, kini Ralia berhak memutuskan untuk melakukan apapun pada pilihannya. Alih-alih menaruh kasihan, Ralia lebih memilih untuk menjadi lebih nyata dan bertindak dengan logika.

"Tapi kita nggak ada yang tau jodoh di masa depan bakalan gimana." Kalau saja boleh, Harris ingin meraih tubuh Ralia untuk ia peluk terakhir kali.

Ralia mendengus tawa. "Dengan siapapun lo nanti, kalo bisa jangan lakuin hal ini lagi. Cukup gue yang ngerasain kecewanya, jangan ada lagi," pinta Ralia. "Sekarang yang udah sama lo itu Shira, diawalin dengan apapun hubungan kalian, jaga aja baik-baik. Kalo sama Jevan aja dia bisa curang, bukan nggak mungkin dia juga berlaku sama buat lo. Sebaliknya juga gitu."

"Kamu nggak tau apa-apa tentang apa yang Shira alamin..."

"Emang," balas Ralia cepat. "Dan nggak berniat untuk tau juga."

Forbidden relationship (00-01line)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang