3

287 48 0
                                    

"Aku nggak pulang sama kamu lagi nih?" Ralia menahan lengan Harris yang barusan memberitahu kalau Ralia sudah dipesankan ojek online.

Harris memegang lengan pacarnya, menuntut pengertian. "Kakak aku lagi jomblo, yang. Jadi ya mau nggak mau, aku sebagai adik cowok, ngejaga dia, ngejemput kemanapun."

"Kak Erina nggak pernah kayak gini," ujar Ralia. "Aku tau banget Kak Erina."

Harris terdiam beberapa saat, lengan Ralia ia lepas begitu saja. "Yaudahlah ayo kamu aku anter pulang duluan. Kak Erin bisa nunggu."

Ralia tersenyum seraya menggeleng kecil. "Udah nggak usah, kamu kan udah pesen ojek online buat aku. Yaudah gih, jemput Kak Erina sekarang."

"Kamu jangan mikirnya aku bakalan ke mana-mana." Harris mengusap puncak kepala Ralia dengan lembut. "Ntar malem kita jalan, aku turutin mau kamu ke mana aja, oke?"

"Siapa juga yang mikir kamu ke mana-mana." Ralia tertawa, menutupi pedihnya. "Hati-hati jemput Kak Erin."

Harris menekan sebelah pipi Ralia gemas. "Iya, sayang. Yaudah buru kedepan, itu ojeknya nunggu kamu."

Tungkai kakinya berjalan malas kedepan gerbang sekolah, memikirkan ia akan pulang naik ojek membuat moodnya benar-benar sangat rusak. Ralia tidak suka naik ojek, dibanding ojek lebih baik Ralia menaiki bus dan harus berjalan kaki beberapa ratus meter ke rumahnya.

Sepanjang jalan ia membuang nafas kasar.

"Mbak Ralia, ya?" tanya driver ojek yang memang sudah menunggu Ralia sejak 15 menit yang lalu.

Ralia mengangguk kecil. "Pesanan atas nama Harris kan, Mas?"

"Iya, Mbak. Ini helmnya di pakai dulu. Mas Harris bilang saya harus memastikan Mbak Ralia pakai helm baru jalan."

Bisa-bisanya masih memberi perhatian.

Ralia pun akhirnya memakai helm dan pulang bersama driver yang untungnya baik. Driver tersebut tidak banyak mengajak berbicara, ia juga mengemudi dengan santai. Ralia nyaman, untuk pertama kalinya setelah serangkaian pengalaman buruk saat menaiki yang namanya ojek online.

"Lo lupa gue nggak suka naik ojek, Ris." Lagi-lagi terlalu banyak Ralia menyimpan dalam batinnya.

***

"Kok kamu pulang naik ojek?"

Kebetulan mama Ralia sedang menyapu teras saat melihat Ralia turun dari motor seorang ojek online.

"Kan udah Mama bilang, jangan lagi nyoba-nyoba," kata mama terdengar marah. "Harris nggak bisa anterin kamu? Iya?"

"Bukan gitu, Ma. Itu terpaksa aja tadi," ujar Ralia tidak berani menatap mata mamanya. "Adek masuk dulu ya?"

Mata mama memicing, meragukan kalimat yang keluar dari mulut anak bungsunya. "Sini kamu," tahannya. "Nggak inget terakhir kali berurusan sama driver? Orang kalau udah tau nggak aman itu harusnya nggak mengulang kesalahan."

Ralia menahan nafas, kalau sudah begini ujung-ujungnya mama akan menelepon Harris dan berkata kalau Ralia lebih baik diantar jemput dengan supir pribadi papanya. Jadi Harris tidak akan repot-repot mengantar apalagi menjemput Ralia. Ini sudah pernah terjadi, sekitar 4 bulan yang lalu. Saat Ralia mendapati kenakalan oknum driver terakhir.

Papa dan mama Ralia marah luar biasa. Tapi tidak bisa menyalahkan Harris juga, karena anak mereka sendiri yang pulang dengan ojek online. Mulai dari saat itu, papa dan mama Ralia menjadi lebih protektif kepada anak bungsu mereka.

"Perlu Mama telepon Harris sekarang?" Mama tampak serius dengan ucapannya sampai Ralia tidak tahu harus berbuat apa.

"Ma, jangan gini dong. Yaudah besok-besok aku pulang pergi sama supir Papa aja," ujar Ralia memohon. "Jangan telepon Harris, lagiankan bukan tanggung jawab dia aku pulang atau perginya gimana."

Mama menetralkan emosi. "Oke, bukan tanggung jawab dia. Tapi kamu tuh harusnya mikir dong, Ra. Tadi pagi dia yang jemput kamu, harusnya tanggung jawab anterin pulang lagi. Masa dia nggak tau sih kamu punya pengalaman buruk sama driver?!"

"Mungkin aku yang belum cerita."

Bohong.

Ralia berkali-kali menceritakan itu pada Harris. Memang dasarnya Harris saja yang perlahan melupakan apapun tentang Ralia.

Mama sedikit mencampakkan tangan Ralia kemudian pergi meninggalkan gadis itu di teras. Mama kesal, juga kecewa kenapa Harris banyak berubah seiring berjalannya waktu. Mama memang tidak berhak mencampuri hubungan Ralia, tapi mereka masih di bawah umur. Tidak salah kalau mama lebih khawatir dan lebih ingin tahu apa saja yang terjadi tanpa sepengetahuannya.

Ralia masuk ke kamarnya. Mungkin beberapa jam kedepan, Ralia akan perang dingin dengan mama.

***

Entah pukul berapa saat Ralia bangun dari tidurnya. Matahari di luar jendela masih sedikit bercahaya, itu artinya belum malam. Gadis itu duduk sejenak, mengembalikan seluruh nyawa yang masih terbang ke mana-mana.

Ia menguap, masih sedikit mengantuk. Namun, Ralia memaksakan diri untuk masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan diri sebelum menghadapi mama di dapur sana.

Ralia mengerutkan alis sesaat setelah keluar dari kamar, ia sudah mandi dan rambutnya masih basah setengah. Tapi suara orang mengobrol mengalihkan perhatian Ralia. "Mama ngobrol sama siapa? Bang Jeffrey udah pulang? Tapi kok kayak bukan suara Abang..."

"Ibuk marah karena akhir-akhir ini Hesta sering ngeluyur kalau malem."

Oh, Hesta.

"Kamu ke mana emang?" tanya mama sesekali mengaduk masakan dalam wajan.

Ralia berhenti didepan dapur, canggung untuk bergabung.

"Biasalah, Ma. Lagi proses pdkt nih sama temen sekelasnya Ralia." Hesta memelankan suara ketika mengatakan hal itu. "Jadi, ya harus berjuang. Nurutin mood, pengen apa juga Hesta musti adalah sesekali. Kalau Hesta bisa, Hesta anterin dia mau kemana."

"Anak cowok gitu emang kalau udah suka sama cewek." Mama geleng-geleng kepala sendiri, tidak lupa memamerkan senyum maklumnya.

Hesta juga senyum-senyum tidak jelas, mendadak hatinya ingin bertemu dengan sang pujaan hati.

"Tapi kok kayaknya Ralia nggak gitu ya, Hes?"

"Hah? Nggak gitu gimana maksudnya?" Hesta mendadak tidak jadi ingin bertemu dengan sang pujaan hati mendengar mama berceletuk aneh.

"Kamu bilang tadi nurutin mood, kan?" tanya mama.

Hesta mengangguk, ekspresi wajahnya jelas ingin tahu maksud mama.

"Ralia nggak pernah tuh mood nya lagi rusak terus di datengin Harris tiba-tiba. Kayaknya Hes, kalau kamu pacaran sama Ralia, nggak bakal repot kali ya." Mama tertawa.

Tapi tidak dengan Hesta. Ia malah memikirkan hal lain. Sejauh yang ia tahu, Ralia itu pemilik mood swing. Dan Hesta juga baru tahu sekarang kalau ternyata dimata mama, Harris tidak cukup perhatian.

"Wajar sih, Harris juga masih anak sekolahan," lanjut mama. Membuat Ralia yang sedang menguping langsung menghela nafasnya.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang