8

245 43 7
                                    

Belum pernah Ralia melihat Hesta dengan mata berbinar bahagia begitu. Bisa dibilang, momen ini cukup langka untuk keduanya. "Udah confess lo ya?" tuduh Ralia menunjuk-nunjuk wajah sang sahabat. "Gimana-gimana? Diterima nggak? Kadonya udah lo kasih?"

Hesta menyengir lebar lalu tanpa babibu langsung memeluk Ralia. "GUE SENENG BANGET GILAAA!"

Ralia membiarkan Hesta memeluk sebentar, ikut senang jika laki-laki itu senang.

"Main peluk-peluk aja." Harris tiba-tiba datang menghancurkan suasana di antara Hesta dan Ralia. "Yanggg, kamu jangan maulah dipeluk gituuu, mana rapet banget lagi!" ujar Harris merasa keberatan.

Hesta akhirnya melepas Ralia, daripada adu cekcok dengan Harris sesaat lagi. "Pokoknya gue seneng banget, Ra. Kadonya udah gue kasih tadi pagi pas jemput dia sekolah."

"Terus lo senengnya karena apa?"

"Nanti, nanti gue cerita." Hesta memajukan tubuhnya kedepan Ralia, Harris melebarkan matanya saat itu juga. "Di rumah aja," bisiknya, sengaja menggoda Harris.

"Wah bener-bener gue dibikin panas!" Harris menempatkan tangannya di senderan kursi bagian tempat Ralia duduk, menggeser pacarnya untuk jauh dari Hesta. "Sahabatan boleh, nggak gue larang, Hes. Tapi jangan gitu dong, gue belum apa-apain cewek gue soalnya!" sewot Harris mendadak protektif pagi ini.

Ralia tersenyum simpul. "Kamu tumben main ke sini? Kenapa?"

Harris menoleh pada Ralia. "Jangan mau dipeluk kayak tadi."

"Iya, yaudah nggak lagi. Lagian aku sama Hesta sahabatan udah lama, ngapain kamu panik gitu sih." Ralia tertawa.

Harris mendung. "Aku nggak percaya hubungan persahabatan antara cowok sama cewek. Aku nggak mau rugi aja."

Randu dan Jevan masuk bersamaan dan duduk ditempat masing-masing. Keduanya tidak terlalu peduli pada kehadiran pasangan yang baru kembali saling sapa itu. Siapa lagi kalau bukan Ralia dan Harris.

"Jadi kenapa ke sini pagi-pagi?" tanya Ralia lagi, menatap Harris yang duduk tepat disampingnya, Harris yang sesekali menatap Hesta dengan ganas.

Hesta tidak begitu peduli apapun kata Harris. Kalau ia mau, ya ia lakukan. Misalnya memeluk Ralia di manapun dan kapanpun.

"Nggak ada kabar dari kemaren, kamu ke mana aja?"

"Nemenin Hesta beli kado buat Ayang-nya."

"Berdua?"

Ralia menggeleng, terlihat lucu di mata Harris. "Rame banget malahan, semuanya ikut. Jerico juga."

Harris mengangguk, tenang. "Ke mana-mana pokoknya kabarin, ya? Sama siapa juga kabarin. Ini mutlak."

"Terus kalau aku minta sebaliknya, emang kamu mau?"

Laki-laki itu terdiam. Randu yang duduk dibelakang menikmati keheningan Harris. Kira-kira apa yang akan Harris katakan, begitulah yang Randu pikirkan.

Ralia tahu, mana mungkin pacarnya bisa menjawab pertanyaan mudah. Sedangkan selama ini saja Harris melakukan banyak hal yang memberatkan posisi Ralia. Senyuman nanar ia tunjukkan saat Harris melihat wajahnya tanpa merasa bersalah sedikit pun.

"Lupain aja," ujar Ralia mengusap pelan wajahnya. Bodoh sekali bertanya hal yang jelas tidak ada jawabannya.

Yang begitu menyebalkan bagi Randu adalah, Harris tampak biasa-biasa saja padahal jelas Ralia sedih melihat bagaimana Harris tidak mampu menjawab pertanyaannya.

"Ah anjing!" Randu mengumpat sambil memukul meja, seluruh perhatian satu kelas mengarah padanya. "Ini kurir badung bener, dibilang rumah nomor 23 juga!" kesal Randu sambil memaki-maki ponselnya.

Felix yang duduk di samping Randu hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya. Bingung karena Randu memaki foto seorang perempuan cantik.

Dari situ, Harris berdiri dan pamit, "Pulang nanti sama supir, kan?"

"Iya."

"Kalau udah di rumah, kabarin aku, ya?" pinta Harris memberi tepukan lembut di atas kepala Ralia. Sambil sesekali mengusapnya dengan sayang.

Gadis itu tidak menjawab.

"Sayang?"

"Hmm? Iya-iya, nanti aku chat," kata Ralia pada akhirnya.

Mungkin memang, seterusnya kisah ia dan Harris hanya sebatas pacaran tanpa keromantisan. Sebab, kini Harris terasa semakin jauh. Semakin sulit untuk kembali digenggam lagi. Apa harus Ralia meminta lepas sekarang? Ah tidak, gadis itu sama sekali belum yakin akan perasaannya.

Biasanya saat istirahat, Ralia tidak pernah absen datang ke kantin mengisi perutnya yang mulai habis karena dipakai untuk fokus menguasai materi pelajaran. Tapi akhir-akhir ini ia tidak lagi datang ke kantin kalau tidak benar-benar dipaksa.

Ia lebih memilih mendatangi perpustakaan yang hening dan sepi. Sesuai dengan perasaannya.

Seseorang berdeham di belakang Ralia saat ia baru saja duduk. Ralia tidak mau merasa dehaman itu ditujukan untuknya, jadi ia langsung pura-pura membaca.

"Perpus jadi tempat pelarian ya sekarang?"

Ralia menajamkan pendengaran, ia merasa kenal dengan suara barusan.

"Hening dan senyap, kayak hati lo ya?"

Pada akhirnya Ralia berbalik dan menatap sengit ke arah laki-laki yang sama saat terakhir kali ia ketiduran di perpustakaan seorang diri.

"Nyebelin lo, Jev." Ralia memutar matanya malas. "Biasanya lo sama Shira ke kantin sampai bel masuk. Sekarang kenapa sok-sokan sering baca buku di sini?"

"Karena gue mau." Jevan berpindah duduk menjadi di hadapan Ralia.

"Jangan duduk di situ, pindah ke belakang lagi," suruh Ralia. "Lo udah tau gue pengen hening, sepi. Malah selalu ada lo ngeganggu di sini," kata Ralia malas.

"Harusnya lo bersyukur, lo punya temen. Buat meratapi kisah lo yang akhir-akhir ini nggak mulus sama sekali. Galau sendirian, bukan pilihan bijak kalo kata Julio. Sering kok dia nemenin gue pas galau, hasilnya emang lebih kerasa beda kalau ada yang nemenin."

"Duh iya-iya. Gue tau niat lo baik, tapi serius gue maunya sendiri." Ralia mulai jengah. "Yaudahlah gue aja yang pindah. Lo duduk aja di sini."

Jevan meraih lengan Ralia untuk menahannya. "Duduk lagi, Ra. Lo cukup menikmati waktu lo tanpa peduli kehadiran gue. Nggak bisa?"

"Enggak," balas Ralia tanpa berpikir.

Jevan membuang nafasnya. "Gue mau di sini, nemenin lo. Walau lo bilang, lo nggak butuh ditemenin. Tapi gue bakalan tetap di sini, karena gue mau." Jevan menatap mata Ralia dalam diam, menyampaikan sesuatu yang membuat Ralia bungkam. "Dia nggak adil buat lo, kan? Duduk, Ra. Biar gue kasih tau apa yang namanya adil."

Seakan tersihir, Ralia langsung kembali duduk ditempatnya. Menatap ke dalam bola mata hitam legam milik Jevan.

Bolehkah?

Bolehkah ia menyukai tatapan hangat yang sama sekali bukan miliknya itu.

"Gue nggak akan pernah memperlakukan lo kayak dia. Gue di sini tanpa lo minta, tanpa diharapkan dan tanpa lo inginkan. Jadi, cukup diterima aja, ya? Karena gue maunya cuma itu."

Ralia dibuat terdiam.

"Ya?" kata Jevan sekali lagi, perlahan melepas tangan Ralia.

Dan seakan tubuhnya digerakkan oleh sesuatu, Ralia mengangguk. Benar-benar terjadi tanpa keinginan hati dan pikirannya. Ada apa dengan tubuhnya? Kenapa ia memilih patuh pada Jevan?

Laki-laki yang tidak boleh dijadikan sebagai pilihan untuk lari.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang