36

195 39 17
                                    

Sudah lebih dari 30 menit, sepasang remaja yang belum lama meresmikan status pacaran di antara keduanya saling berdiam-diaman di loteng terbuka lantai paling atas bangunan villa. Jevan sibuk memikirkan perkataan mama Ralia di dapur, sementara Ralia tidak bisa menelaah semua hal yang tiba-tiba dihadapkan untuknya.

"Ra-"

"Jev-"

Menyadari kalau keduanya memilih membuka suara pada saat yang sama, Jevan pun mengulas sebuah senyuman tipis. Sebuah senyuman yang entah mengapa tersirat luka dalam penilaian Ralia.

"Setelah gue berhasil dapetin lo-"

"Jev," sela Ralia cepat, ia merasa apapun yang dibilang Jevan akan membuatnya sedih. Maka ia memutuskan untuk memotong kesempatan bicara pacarnya itu.

Ini masih sangat baru, lalu mengapa bahkan Ralia tidak diberi kesempatan untuk merasa buncah kebahagiaan bersama Jevan? Ralia juga ingin menerima beragam perlakuan lain yang bisa Jevan beri padanya. Ralia menantikan itu, Ralia menantikan perasaan menyenangkan yang membuatnya semangat menjalani hari.

"Enggak, Ra. Kalo lo mikir gue mundur, lo salah. Sekalipun Mama lo nggak suka sama gue, tapi selagi lo sendiri masih suka, gue nggakpapa..."

Ralia terdiam menatap wajah Jevan dari samping.

"Sekali-sekali tolong pikirin perasaan lo sendiri, Jevan." Hembusan nafas berat meluncur cepat dari bilah bibir tipis Ralia. "Jangan nggakpapa-nggakpapa, gue nggak mau lo jadi orang yang kayak gitu."

Lalu bagaimana jadinya bila Jevan egois dan memaksakan kehendak? Apakah masalah akan berubah dengan sendirinya? Tidak, kan?

"Gue—gue nggak tau apa yang Papi buat sama Mama lo di masa lalu," tutur Jevan jujur. Kepalanya menunduk menatap lantai beton yang di cat dengan warna hijau. "Tapi, gue bakalan nyari tau. Jadi—jadi gue nggak mau lo nyerah."

Dari mana Jevan beranggapan kalau Ralia ingin menyerah pada halangan yang sama-sama baru diketahui tadi siang.

"Udah pernah gue milih buat nyerah perjuangin perasaan gue." Jevan menyerongkan tubuhnya ke arah Ralia. Menatap dengan sorot mata paling lembut dan teduh yang selalu ia berikan untuk gadis itu. "Sekarang kayaknya nggak bisa lagi. Bertahan ya, Ra?" pintanya.

Tangan kiri Ralia yang berada di sebelah tubuhnya diambil oleh Jevan dan ia bawa ke atas pahanya. Hanya dengan menggenggam tangan gadis yang disukai, perasaan Jevan berangsur membaik. Ia hanya butuh gadis ini untuk melanjutkan pilihannya. Ia akan bertahan apabila Ralia bersedia menerima usaha bertahannya. Jevan yakin, hubungan mereka bisa berhasil asal keyakinan itu tidak berjalan satu arah.

Menikmati sentuhan jemari Jevan pada tangannya sendiri, Ralia memutuskan untuk menyudahi pemikiran yang turut mengusik perasaannya. Ralia bersedia menjalin hubungan dengan Jevan, dan ia berharap semoga pilihannya tidak mengarah pada kesalahan.

"Gue nggak mau sesingkat ini sekalipun gue dipaksa selesai." Kepalanya menggeleng, Jevan mulai merasa kalut. "Sayang banget gue sama lo Ralia."

Ralia mengangguk, ia memahami laki-laki di sebelahnya. "Makasih banget untuk semua perasaan yang lo kasih ke gue," ujar Ralia, menarik persatuan tangan keduanya, kemudian Ralia mendaratkan pelukan pada tubuh yang rupanya jauh lebih menenangkan. Ralia melepas genggaman Jevan dan beralih memeluk lehernya dengan kedua tangan.

Menyadari bahwa memang perasaannya berbalas, Jevan ikut menaruh tangannya di belakang punggung Ralia. Jevan menghirup banyak udara lewat rambut Ralia yang berada di dekat penciumannya. Pelukan yang semakin erat adalah bukti bahwa di antara mereka tidak ada yang mau menyudahi.

"Untuk dapetin semua ini, banyak waktu yang mesti gue bayar, banyak ikhlas yang udah akrab sama gue. Setelah gue dapetin semuanya, gue nggak akan berpikir buat ngelepas itu," bisik Jevan disela-sela pelukan eratnya bersama Ralia.

Forbidden relationship (00-01line)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang