"Enak ya sekarang udah punya pacar baru."
Ralia berbalik, menemukan Harris berdiri tidak jauh di belakangnya sambil menenteng bola futsal. Bagian rambut Harris terpasang headband hitam, benda yang tidak pernah lupa Harris kenakan ketika ia akan bermain futsal ataupun basket.
"Oh, lo udah tau," respon Ralia seadanya. Ia sedang bersiap-siap berganti pakaian ke jersey latihan yang diberikan oleh pihak sekolah.
Harris tidak berpindah, ia masih berdiri di belakang Ralia dan menatap punggung kecil perempuan itu. "Mustahil gue nggak tau, Ra."
Ralia mengangguk-angguk. "Emang, apalagi Jevan secara terbuka ngumumin di kantin kalo sekarang gue pacarnya. Ya wajar aja lo tau. Tapi ngapain lo peduli? Ngapain ngomong ke gue gini?"
"Nggak boleh?"
Daripada terus menanggapi Harris yang sengaja memancingnya, lebih baik Ralia segera bergegas memasuki kamar ganti perempuan, meninggalkan Harris di luar. Setelah jersey sudah terpasang di tubuhnya, Ralia langsung berjalan ke cermin di sudut ruangan kemudian merapikan rambutnya. Ia mengikat rambut tinggi, kemudian ia gulung menjadi satu. Teman-temannya yang lain mungkin sudah berada di lapangan semua sampai-sampai tidak ada satu orang pun di ruang ganti saat ini.
"Ra," panggil Harris. Laki-laki itu bersandar pada dinding ruang ganti, sambil menunggunya.
Ralia menoleh. "Sana ke lapangan."
"Ra, kita nggak bisa apa kayak dulu lagi?"
"Aduh, kayak dulu gimana sih maksud lo, Ris? Udah dong, kita udah selesai, urusin aja urusan masing-masing, lo jangan kayak gini di belakang cewek lo," kata Ralia jengah. Matanya menatap Harris lelah.
Harris menarik nafas guna menyegarkan dadanya yang tiba-tiba seperti tersumbat sesuatu. "Gue tau, gue nggak akan pernah bisa minta lo sekali lagi. Tapi, jangan musuhin gue kayak sekarang, gue nggak kuat, Ra. Setiap hari rasanya kayak tantangan. Lo sama mereka, sementara gue dibuang."
Mendengar keluhan Harris entah mengapa membuat Ralia merasa seperti dirinyalah yang menciptakan situasi seperti itu. Padahal, apapun yang terjadi pada Harris adalah akibat dari kelakuannya sendiri. Seharusnya, kalau Harris masih punya rasa malu, ia akan menarik diri sejauh mungkin alih-alih mendatangi Ralia dan mengeluhkan keadaan yang terjadi padanya.
"Nggak ada yang buang lo." Dari arah lain, Jevan berjalan mendekat. Wajahnya datar, tatapan matanya lurus menatap Harris dengan tajam. "Ralia nggak segabut itu buat ngurusin lo lagi, kalo lo mau tau," desis Jevan, sudah pasti ia merasa marah.
Padahal niatnya datang ke sini karena Saira memberitahu kalau Ralia belum juga kembali dari ruang ganti. Rupanya hal lain malah Jevan dapati, pacarnya sedang dirusuhi oleh pacar dari mantannya sendiri. Sudah cukup muak Jevan mendengar keluh kesah Shira beberapa waktu lalu, kini ternyata Harris pun melakukan hal yang sama pada Ralia.
"Nggak ada bedanya lo sama Shira, Ris," cetus Jevan berdiri di sebelah Ralia. Menjadi pelindung sekaligus penjaga bagi gadis cantik itu. "Ayo ke lapangan, Ra. Kamu ditungguin sama yang lain."
Jevan meraih punggung Ralia untuk menuntunnya ke arah lapangan voli. Sementara Harris tertinggal di belakang dalam kondisi marah, tapi memangnya Harris marah untuk hal apa? Kalau ada yang disalahkan dalam situasi ini, itu pasti dirinya sendiri, kan?
***
Tim voli sudah bergegas untuk mendinginkan diri setelah sesi latihan dinyatakan selesai oleh pelatih. Dengan peluh membasahi jersey bagian belakang dan depan, Ralia segera berjalan ke ruang ganti dan mengambil perlengkapan sekolahnya yang sengaja ia tinggal di sana.
"Mau langsung pulang, Na?" tanya Ralia pada Helena yang sejak di lapangan menjadi sangat pendiam.
Helena mengangguk kecil. "Iya, duluan ya, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forbidden relationship (00-01line)✔️
Ficțiune adolescențiPenyesalan kadang-kadang memang berakhir buruk. Ketidak setiaan hati seseorang bisa menyebabkan patahnya banyak hati yang lain. Memaksakan sesuatu, apalagi perasaan, sangat jarang bisa berakhir dengan kebahagiaan. Keharmonisan akan sirna bila satu...