BUDAYAKAN VOTE DULU SEBELUM BACA😁
Humaira terpekur, pemandangan yang dilihatnya saat ini mencerminkan jika pindah sekolah adalah keputusan terbaik. Tas berbahan kain miliknya sudah berbaur dengan pecahan telur sekaligus kecap, menguarkan aroma amis cukup kuat. Tak hanya itu, buku sekolah pun turut bercecer di lantai.
Untuk kesekian kalinya, Humaira berjongkok memunguti buku lalu memasukkannya ke dalam tas. Jika sudah seperti ini, maka tidak ada alasan lagi untuk tak menangis. Semua yang dia dapatkan satu tahun ini, keterlaluan.
Humaira lantas duduk, tak ada niatan sekaligus untuk mendongakkan kepala. Rasanya, bertatap muka dengan biang semua ini hanya menambah sesak di hati. Biarlah dia bergulat dengan luka ini hingga nanti sembuh.
"Kenapa sekarang diem aja?" Teresa bercecak pinggang, menatap mangsanya yang hanya menunduk seraya memeluk tas kotor di bangku paling depan.
"Nyalinya udah nggak sekuat dulu kali, Sa," sahut Pila menimpali. Gadis gempal ini duduk di bangku samping Humaira, memudahkannya untuk sesekali menonyor kepala berbungkus hijab si gadis malang.
"Gue laper, beliin gue makanan di kantin. Mumpung masih jam istirahat." Perintah itu terlontar dari bibir Teresa, mencoba untuk menunjukkan siapa yang mendominasi di sini.
Humaira hanya diam seraya menunduk, rasanya sudah cukup untuk menjadi budak teman tak berperikemanusiaan seperti Teresa. Satu tahun ini, sudah cukup.
"Kok diem? Lo ngelawan gue?" Suara keras Teresa memenuhi kelas yang hanya diisi oleh mereka bertiga.
Kini Teresa tak tinggal diam, dia melangkah mendekat untuk menonyor kening Humaira dengan keras. "Jawab! Jangan diem aja!"
Melihat respon Humaira yang hanya diam seraya menunduk, Teresa geram. Lantas gadis berkuncir kuda itu tanpa ragu mencengkram dagu korbannya hingga mendongak. Tak peduli rintihan sakit yang terlontar dari bibir Humaira.
"Dengerin gue, sekali pembantu tetep pembantu. Di rumah lo jadi pembantu, di sini pun lo juga pembantu!" Dengan sekali hentakan Teresa melepas cengkeraman, membuat Humaira tersungkur di lantai kelas.
Untuk kesekian kalinya, Humaira meneteskan buliran air raga di lantai kelas XII MIPA 1. Seperti deja vu, tapi rasanya begitu menyakitkan. Kendati bibir ingin berteriak meminta tolong, namun adanya, dia hanyalah kalangan bawah yang hanya mampu menerima dan menerima.
"Awas aja lo, pulang sekolah jangan harap bisa lolos dari Nico. Biar mampus sekalian!"
Mendengar Teresa menyebut nama siswa paling berandal di sekolah sekaligus pacar gadis itu membuat Humaira mengeratkan pelukan pada tasnya. Kali ini ... dia takut.
❥●••┈❀•••❀┈•••●❥
Pukul tiga sore, mentari mulai meredup, digantikan oleh semilir angin yang berhembus kencang. Humaira kembali menoleh ke belakang dengan pandangan waspada sekaligus takut. Disela nafas memburu, dia mencoba untuk berlari lebih cepat lagi. Namun, harapannya untuk bisa lolos pupus ketika sebuah suara terdengar di belakang sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira Merindu
Spiritual"Lo tahu nggak, Ra? Lo dan gus Harits itu adalah refleksi nyata dari surat Yasin ayat empat puluh. Jalan kalian bersebrangan, bukan beriringan." Kehidupan pesantren yang Humaira idam-idamkan layaknya cerita sebuah novel dimana hanya ketenangan dan k...