Bab 27 | Jangan Bilang Selamat Tinggal

404 55 21
                                    

Assalamualaikum para calon penghuni surga. Zeen minta maaf karena ngilang kek ditelen bumi😭 apalah daya saia dengan deadline tugas kuliah yang tidak ngotak😭🙏

⚠️WARNING KATA KASAR⚠️

⚠️WARNING KATA KASAR⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~HUMAIRA MERINDU~

15 Oktober 2022

.
.
.

"Sekalipun gue nggak berhak nyalahin orang-orang yang ngebenci gue, karena mereka punya hak buat benci sama orang nggak berguna kayak gue, termasuk ayah."

Humaira jelas tak setuju dengan apa yang diucapin oleh Mahendra. Namun, dirinya sendiri pun tak mampu menyanggah barang satu kalimat ketika netra penuh luka sang pemuda menatapnya penuh permohonan yang entah perihal apa, Humaira pun tak mengerti.

"Gue juga nggak mau nyalahin lo. Normal-normal aja kalau lo lebih milih gus Harits ketimbang gue." Mahendra terkekeh miris dengan tangan yang mengusap kasar tangis, membuatnya terlihat begitu memilukan di mata sang gadis. "Emangnya apa yang bisa dilihat dari manusia sampah kayak gue? Nggak ada."

"Kamu bukan manusia sampah, Mahen. Setiap manusia punya value masing-masing."

"Dan apa value gue? Jadi copet di pasar? Jadi santri jago berantem yang sering dihukum? Jadi anak yang disembuyiin sama Ayah sendiri? Mana value dalam diri gue yang harus gue syukuri, Ra? Kasih tahu gue kenapa gue harus bersyukur dilahirin ke dunia ini dan jadi anak haram?"

"Ada aku dan temen-temen kamu yang bersyukur karena kamu ada, Mahen!" Humaira spontan menyahuti pertanyaan Mahendra dengan suara keras. Dia hanya ingin membuat pemuda di hadapannya sadar dan tak melulu menyalahkan diri sendiri.

Mendengarnya, Mahendra termangu dengan tatapan yang tertamat di wajah sendu sang gadis. Dilihatnya lekat bagaimana Humaira menarik napas sebelum kembali berbicara.

"Aku, Mitha, Ima, Iwa, Silvya bahkan temen-temen kamu bersyukur kamu ada di dunia ini. Mungkin kamu belum bisa melihat hal menakjubkan yang udah Allah kasih ke kamu, tapi orang-orang di sekitar kamu ngerasa beruntung kamu ada di sini, Mahen. Berhenti nyalahin diri kamu sendiri. Kamu nggak harus jadi yang paling hebat dulu untuk bisa bersyukur, Mahen."

Keduanya berbalas tatap, berusaha menyalurkan rasa yang kini tengah diemban masing-masing. Mahendra menurunkan pandangan, menghindari manik sang gadis yang membuatnya merasa tak pantas sama sekali. Ada sebuah telaga yang cukup menghilangkan dahaganya ketika kalimat itu meluncur dari bibir Humaira.

Dering smartphone dari saku kemeja flanel Mahendra meruntuhkan dinding kesunyian antara dua remaja itu.

"Kenapa, Rud?" tanya Mahendra pada si penelepon di seberang sana. Raut sang pemuda kembali serius.

Humaira Merindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang