Bab 3 | Suara Itu Milik Humaira

620 117 24
                                    

BUDAYAKAN VOTE DULU SEBELUM BACA😁

BUDAYAKAN VOTE DULU SEBELUM BACA😁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sabtu, 2 Juli 2022

~HUMAIRA MERINDU~

.
.
.

Sampai di Stasiun Cakung, Humaira berlari menuju tempat pembelian tiket. Dia menggunakan layanan kereta rel listrik (KRL) jurusan Bogor-Jakarta Kota. Setelah membeli tiket, gadis itu duduk di kursi bersama penumpang lain yang masih menunggu kedatangan kereta.

Dadanya bergemuruh riang, seperti tengah bersorak menyambut bahagia. Hafidzah, cita-cita mulia yang terucap dari bibir sang ayah dahulu. Kala itu, Humaira masih begitu kecil untuk memahami mimpi sang ayah hingga pada titik ini, dia bertekad untuk mewujudkannya. Setidaknya, inilah hadiah yang bisa diberikan kepada sang ayah ketika nanti berjumpa kembali, di alam berikutnya.

Jemari kuning langsat itu mengambil sebuah Al-Qur'an kecil dari dalam tas. Dibukanya perlahan kitab suci tersebut untuk mengulang hafalan dalam riuhnya suasana stasiun.

Ini adalah langkah awalnya untuk berubah, memperbaiki kehidupan yang terdapat begitu banyak celah keburukan. Hidup sebagai pembantu di keluarga Pak Yahya adalah sebuah keajaiban. Keluarga dengan latar belakang agama kuat itu bersedia menerima gadis SMP yang kabur dari kegiatan perdagangan manusia.

Fakta pahit yang membuat Humaira bertekad untuk hidup lebih baik lagi adalah bahwa dirinya dijual oleh sang bunda lima tahun silam. Hal itu sudah cukup membuktikan seberapa jauh sang bunda bisa bertindak hanya demi ... uang. Tak peduli jika harus mengorbankan sang putri.

Deru mesin kereta membuat Humaira terkesiap, dia lantas memasukkan kembali Al-Qur'an ke dalam tas. Bersiap memasuki kereta bersama orang-orang. Dihelanya napas dalam-dalam, ada rasa gugup yang berusaha dienyahkan.

"Ya Allah ridhoilah setiap langkah hamba. Allahumma Yasir Wala Tu'assir." Batinnya sekali lagi berdoa sebelum akhirnya memasuki kereta.

Sepanjang perjalanan, Humaira sibuk mengulang hafalan seraya sesekali memejamkan mata, mencoba menggali tiap huruf yang telah dihafal jauh hari. Smartphone-nya bergetar, membuat si gadis membuka aplikasi WhatsApp.

|Teresa| Jangan harap dengan lo bolos sekolah, lo bakalan lolos.

Humaira menghela napas dalam, berusaha mengurai sesak yang tiba-tiba menghalangi diri untuk bernapas lega. Rasa takut itu jelas ada, bersembunyi di sudut terkecil hati.

Humaira jelas tidak tahu apa kesalahan yang telah diperbuat hingga membuat Teresa membenci sedemikian rupa. Rasanya akan keterlaluan jika alasan segala hal buruk di sekolah yang dialaminya hanya karena status 'pembantu'. Namun begitu, Humaira sudah terlebih dahulu sadar diri.

Segala peristiwa malang yang dialami sudah cukup untuk membuat Humaira terpekur seraya menatap pepohonan di sepanjang perjalanan. Kendati hati hendak mempertanyakan, namun nyatanya, dia tak berani untuk mempertanyakan suratan takdir yang Allah berikan.

Humaira Merindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang