Bab 13 | Pajangan

438 78 33
                                    

BUDAYAKAN VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA ❤️

BUDAYAKAN VOTE DULU SEBELUM MEMBACA YA ❤️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~HUMAIRA MERINDU~

14 Agustus 2022

.
.
.

"

Berdiri!"

Humaira terjingkat mendengar perintah sekaligus teriakan itu. Bahkan, manik indah yang hampir setiap hari terjamah air mata miliknya sudah berkaca-kaca. Bukan perlakuan seperti ini yang dia impikan ketika di pesantren. Namun begitu, gadis berwajah sendu itu tetap menuruti perintah Ria.

Tanpa permisi, Ria mengobrak abrik tas ransel, membuat sang empu hanya menunduk. Perasaan malu sekaligus sedih membuat Humaira tak lagi bisa menahan buliran air raga yang ingin meluap dari pelupuk mata.

Mahendra berbalik, menatap bagaimana Humaira menunduk dalam dengan tangis samar. Jemari tegasnya tergenggam erat, memperlihatkan bahwa jelas dia tidak suka dengan apa yang dilakukan oleh pengurus Ria.

"Baru dua minggu di sini sudah berani surat-suratan?!" Ria menggenggam penuh amarah lembaran surat yang dia temukan dalam tas Humaira.

Humaira perlahan mendongak, tangisnya tak tertahankan lagi. "Sa-saya ti-"

Ria yang tak sabar atas penjelasan Humaira segera menyela. "Saya apa, hah?! Pulang sekolah temui saya di ruang sidang!"

Sidang.

Satu kata yang berhasil membuat seluruh santri menunduk dalam. Kekuatan ruangan yang hanya berukuran 4x5 meter itu nyatanya hingga dulu mampu menyingkap berbagai kasus para santri hingga membuat yang terbukti bersalah menerima hukuman. Tak ada satupun yang memiliki keinginan untuk sekedar menginjakkan kaki di ruang itu.

Tapi kini, keadaan seakan memaksa Humaira untuk menelusuri semua sisi gelap maupun terang kehidupan di pesantren. Bahkan ketika hati sepenuhnya tak menghendaki semua ini terjadi, nyatanya yang memegang kendali takdir menginginkan gadis berparas bak dewi itu mencecap bagaimana pahitnya sudut terdingin pesantren.

Ria melenggang pergi bersama teman laki-lakinya. Kepergian wanita yang berstatus sebagai pengurus keamanan santri putri meninggalkan kesunyian mendalam di ruang kelas.

Niswa berinisiatif menghampiri sang siswi yang dia yakini tidak sepenuhnya bersalah dalam hal ini. "Nak ... Ibu tahu kamu nggak sepenuhnya bersalah."

Dipeluknya Humaira dengan sayang, perlakuannya sontak membuat sang gadis menyuarakan tangis keras.

Sejak awal Humaira hanya berniat menimba ilmu di sini tanpa sedikitpun terbesit akan tersandung oleh kerikil lancip yang membuat langkahnya berdarah dan terseok. Menerima tuduhan yang tak pernah dia lakukan nyatanya semenyakitkan ketika dirinya dipermalukan. Pilunya, tak ada hal yang bisa dia lakukan hingga saat ini selain menangis.

Humaira Merindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang